Oleh : Satriya Nugraha, SP
satriya1998@yahoo.com
Konsultan Pertanian Organik dan Evaluasi Lahan Pertanian
Mantan Presiden BEM Fakultas Pertanian Unibraw 2000-2002
Pemuda adalah generasi penerus kepemimpinan dan ilmu pengetahuan bangsa. Pemuda desa berjumlah mayoritas di pedesaan. Karena hampir sebagian besar penduduk Indonesia bekerja sebagai petani. Namun, ironis, banyak pemuda desa yang merantau mencari pekerjaan di perkotaan dan menyebabkan peningkatan arus urbanisasi dan kepadatan jumlah penduduk perkotaan. Penulis sangat cemas dan khawatir tentang masa depan generasi muda dan lenyapnya keterampilan serta pengetahuan yang dimiliki oleh petani sekarang karena tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya pewarisan pengetahuan pertanian berkurang.
Generasi muda lebih memilih untuk merantau dibandingkan dengan mengembangkan pertaniannya sendiri. Faktor-faktor yang menyebabkan generasi muda kurang berminat dengan pertanian adalah: Generasi muda berpendapat bukan zamannya lagi untuk tinggal di kampung dan bertani; hasil pertanian kurang mendukung kebutuhan ekonomi, cara bertani tradisional dinilai kurang efektif; banyak masalah termasuk kesuburan tanah, hama dan penyakit; masyarakat belum punya keterampilan pengolahan hasil pertanian; kurang informasi dan pengalaman; kurang motivasi dari orang tua; dan lebih tergiur untuk merantau.
Padahal kita tahu bahwa di kota pun belum tentu tenaga kerja mereka bisa terpakai. Sarjana saja banyak yang masih menganggur. Bagaimana mungkin dengan orang-orang muda yang umumnya berpendidikan rendah, bisa mendapatkan pekerjaan yang memadai?”. Pendidikan keluarga turut menentukan seperti apa jadinya generasi kita ke depan, katanya. Ditambahkan bahwa bila sejak kecil orang tua tidak menanamkan nilai-nilai dan prinsip hidup yang benar kepada anak maka jangan pernah berharap, kelak mereka bisa mengatur hidupnya dengan baik.
Contohnya, Marsid, pemuda asli Kecamatan Pasrujambe, Kabupaten Lumajang pernah bekerja di pabrik sepatu di Surabaya selama 8 tahun. Harapannya untuk memperoleh penghasilan besar tidak bisa dicapai karena biaya hidup di kota yang serba mahal. Akhirnya, setelah mempertimbangkan dengan masak, ia memutuskan untuk kembali ke desa yang dianggap masih menyimpan potensi besar untuk masa depan yang lebih baik. Dari persoalan itu, Marsid bersama beberapa pemuda / pemudi di dusunnya membentuk suatu wadah untuk mempersatukan pemuda di tingkat dusun agar dapat berperan lebih banyak di masyarakat. Organisasinya diberi nama Organisasi Kemasyarakatan Pemuda Membangun (OKPM), dan kini sudah berumur 5 tahun.
OKPM telah mengembangkan beberapa kegiatan di antaranya: Pertama, kerja bakti membangun desa. Kegiatan yang dilaksanakan setiap hari Jum’at pagi ini dilakukan sebagai wujud kepedulian mereka dalam membangun dusunnya, melalui: perbaikan dan pelebaran jalan dusun, perbaikan dan pemeliharaan sarana prasarana dusun, dsb. Kedua, Pelatihan kewirausahaan. Dengan semangat dan tujuan untuk memperoleh penghasilan tambahan melalui wirausaha, OKPM menyelenggarakan pelatihan pengolahan hasil panen dengan saling menukar resep antarsesama petani.
Resep - resep yang dipertukarkan tersebut antara lain: ting-ting kacang dari Sumbermujur, criping pisang dari Njabon, tomat rasa kurma dari Senduro, dan resep kripik jahe milik OKPM. Kini, sudah ada 3 anggota OKPM yang berhasil mengembangkan usahanya yaitu Nur, Karmi, dan Maridem. Ketiga, belajar melalui Pusat Penelitian Perkebunan Rakyat (P3R). P3R merupakan wadah bagi petani (pemuda/orang tua) di Desa Pasrujambe untuk belajar melakukan identifikasi, pengkajian, pelestarian dan pendokumentasian beberapa hal yang terkait dengan pertanian, khususnya perkebunan.
Sekretariat berada di Dusun Tulungrejo sehingga semakin menarik minat anggota OKPM yang pada awalnya kurang paham tentang teknis budidaya dan pengembangan tanaman perkebunan (kopi, lada) untuk belajar dan aktif di dalamnya. Selain anggota OKPM, P3R juga banyak beranggotakan alumni SLPHT kopi yang pernah didampingi oleh Dinas Pertanian Kab. Lumajang.
Jadi, generasi penerus yang tidak mencintai kegiatan pertanian merupakan akibat dari kesalahan orang tua yang mengabaikan penanaman budaya cinta pertanian kepada anak-anak mereka sejak masih kecil. Kiat-kiat khusus untuk menanamkan budaya cinta lingkungan kepada anak-anak pedesaan antara lain : pertama, perkenalkan kepada anak-anak kita tentang pertanian, sejak mereka berusia lima tahun. Kedua, bangun diskusi bersama anak-anak di sela-sela aktivitas pertanian. Di sawah merupakan tempat diskusi yang paling efektif untuk mendidik dan membangun diskusi bersama anak tentang hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan di sekitarnya.
Kita dapat memberitahu kepada anak-anak tentang apa yang kita lakukan di sawah atau di kebun, mengapa harus melakukan demikian, apa tujuannya, dsb. Apalagi hal- hal seperti ini mungkin tidak mereka dapatkan di sekolah. Ketiga, belajar memberi tanggung jawab untuk berpartisipasi dalam aktivitas pertanian sesuai kemampuan mereka. Karena sudah terbiasa dengan bermain di sawah maka anak-anak lebih cenderung menghabiskan waktu bermain mereka bersama rekan- rekan seangkatannya di sawah.
Anak-anak sebaiknya dibiasakan untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatannya di sawah. Saat mereka berumur 8-9 tahun mereka diberi tanggung jawab untuk mengantarkan makanan oleh ibu mereka ke sawah. Ketika mereka berumur 11 tahun, mereka diminta menghalau burung-burung saat padi sudah mulai menguning. Tanggung jawab ini mereka lakukan dengan senang hati, tanpa terpaksa, karena disamping mereka menjalankan tugas mereka, kegiatan bermain mereka tidak pernah terganggu.
Keempat, Orang tua berperan sebagai “guru” bagi anak- anak baik di dalam maupun di luar rumah. Mengajar anak bukan semata-mata tugas seorang guru di sekolah. Tiada hari tanpa kerja. Orang tua harus selalu menanamkan nilai bahwa kerja di kebun dan di sawah merupakan suatu keharusan. Kita ini hidup dari ”tanah” meninggal pun ke ”tanah”. Karena itu, orang tua sebaiknya selalu mengajar dan mendidik anak-anak sendiri baik di rumah maupun di luar rumah. Di dalam rumah, orang tua mengajarkan untuk harus terlibat melakukan apa saja yang mereka mampu lakukan.
Di luar rumah, orang tua mengajarkan agar tidak ikut-ikutan meniru gaya hidup teman-teman lain yang ekonomi orang tua mereka mampu. Orang tua selalu menasehati bagaimana menjadi anak yang bertanggung jawab, tidak membuat orang tua kesal, dll. Dengan demikian, nasib generasi mendatang sedikit tidaknya ditentukan oleh apa yang kita wariskan dan tanamkan kepada mereka sejak saat sekarang. Memimpikan suatu generasi muda yang mencintai budaya pertanian sudah semestinya dilakukan mulai sekarang.
Kita selaku pemegang tongkat estafet pertanian saat ini mesti melihat diri kita sebagai pelaku pertanian saat sekarang dan melihat anak-anak kita sebagai pelaku dan pemegang tongkat estafet pertanian di waktu yang akan datang sesudah kita. Bila hal demikian disadari maka persoalan semakin pudarnya minat generasi penerus terhadap pertanian di desa yang sudah mulai terasa saat ini tidak akan terjadi. Karena itu komitmen dan tekad kita selaku mitra masyarakat untuk memberikan pendampingan dan penyadaran kepada masyarakat sangat dibutuhkan.
Generasi penerus yang ada di desa akan semakin merasa lebih nyaman berada di desa dan memulai usaha pertanian mereka ketimbang beralih ke kota. Sehingga, diharapkan budaya bertani tidak akan dipandang sebelah mata oleh generasi penerus kita. Apalagi, bila RUU Pembangunan Pedesaan segera disahkan oleh DPR RI, maka pembangunan pedesaan bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa dan meningkatkan peran masyarakat desa dalam setiap tahapan pembangunan dengan tetap menjamin terpeliharanya adat istiadat setempat. Amin.
Malang, 25 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar