Oleh : Satriya Nugraha, SP
satriya1998@yahoo.com
Konsultan Pertanian Organik dan Evaluasi Lahan Pertanian
Mantan Presiden BEM Fakultas Pertanian Unibraw 2000-2002
Memperjuangkan kedaulatan pangan (food severeignity) tidak sekedar menghidupkan kembali pangan lokal. Gerakan kedaulatan pangan sejatinya adalah memperjuangkan hak atas pangan dan hak petani. Hak atas pangan melalui peningkatan produksi pangan dengan cara menjaga ketersediaan pangan yang cukup, aman dan halal di setiap pemerintah daerah setiap saat dan antisipasi agar tidak terjadi kerawanan pangan. Hak atas pangan berarti tiap orang berhak atas makanan dan tidak kelaparan. Pangan yang aman, sehat dan terjangkau harganya harusnya tersedia bagi semua orang. Pangan juga harus tersedia saat bencana, gagal panen atau situasi khusus lain. Inilah prinsip utama hak atas pangan.
Perjuangkan Hak Petani
Pangan adalah komoditas yang sensitif dan politis. Perdagangannya tidak boleh diserahkan penuh pada pasar. Mentan RI, Kabulog RI dan Menperindag RI harus mengontrolnya. Pertanian lokal harus diberdayakan agar pangan dicukupi dari dalam negeri. Sistem pertanian lokal dengan kearifan lokal dan keanekaragaman hayati terbukti mampu menghadapi tantangan jaman. Agar berdaulat pangan, petani harus bebas menentukan tanaman sendiri yang ingin ditanam untuk mencukupi pangannya. Atau jika petani tidak bisa mencukupi kebutuhan sendiri, petani mampu membelinya.
Perempuan suku Lio di Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur secara tradisional berperan sebagai penyimpan hasil panen dan penjaga lumbung serta pengelola dapur. Namun, peran ini masih terbatas pada bagaimana menyimpan dan mengatur pangan agar dapat memenuhi kebutuhan makan keluarga setahun. Studi gender di Wologai Timur (Kecamatan Detusoko) yang dilakukan oleh YTNF (Yayasan Taruna Flores) tahun 2006 mengungkapkan bahwa perempuan mempunyai akses dan kontrol lebih tinggi terhadap tanaman pangan. Hal inilah menjadikan perempuan memiliki peran strategis dalam pemberdayaan mereka sendiri.
Pangan Yang Terlupakan
Makanan pokok utama masyarakat Flores adalah jagung dan ubi. Revolusi hijau merubah budaya konsumsi jagung dan ubi menjadi konsumsi beras pada waktu swasembada beras tahun 1984. Keberadaan pangan lokal terancam. Padahal nilainya lebih dari sekedar makanan bagi masyarakat Flores. Perubahan pola konsumsi keluarga dari pangan lokal menjadi beras diperburuk dengan maraknya makanan instan yang beredar di masyarakat.
Penguatan Peran Perempuan Untuk Ketahanan Pangan
YTNF mengembangkan program pertanian berkelanjutan dan kesehatan, perempuan dilatih melakukan seleksi benih, membuat kompos, meningkatkan pengetahuan tentang berbagai pangan lokal bergizi, menyiapkan menu makanan yang bervariasi, menjadi kader posyandu dan melakukan pendampingan kepada orang tua balita. Program kesehatan YTNF dilakukan di Desa Taniwoda, Ndikosapu, Mukureku, dan Sipijena.
Pengembangan pertanian untuk pangan lokal dilakukan menyeluruh dari persiapan benih hingga pasca panen. Perempuan memilih benih dengan teliti agar panne cukup memberi makan keluarga. Untuk mencegah berkurangnya jumlah dan jenis tanaman pangan lokal, dilakukan tukar menukar benih antar petani. Misalnya petani di Desa Ndikosapu menukar benih padi, jewawut, shorgum dan kacang Nggoli dengan bibit kakao dari petani di Desa Nualise (Kecamatan Wolowaru, Kab. Ende).
Petani perempuan pun dimotivasi oleh YTNF untuk selalu menanam tanaman pangan di lahan. Berbagai jenis tanaman lokal yaitu padi, singkong, uwi, ubi talas, keladi tikus, wijen, kacang-kacangan, shorgum, jewawut dapat ditanam di ladang atau sebagai tanaman sela di antara kakao, kopi atau kelapa. Perencanaan kebun yang baik menjadi kuncinya. Perpaduan berbagai tanaman diperlukan untuk keuntungan secara ekonomis, ekologis dan berkelanjutan.
Keluarga petani sebaiknya selalu memiliki lumbung, baik di rumah maupun di kebun. Petani juga perlu memiliki ”lumbung tanah”. Lumbung tanah adalah simpanan tanaman pangan umbi-umbian seperti singkong, keladi tikus dan ubi jalar. Lumbung tanah sebenarnya merupakan tradisi lokal, yang menghilang perlahan ketika pola konsumsi dan pola tanam berubah ke beras. Padahal bahan pangan lokal bergizi tinggi.
Perempuan petani perlu informasi tentang makanan bergizi untuk memahami sumber makanan lokal, kandungan gizi, cara pengolahan serta manfaatnya bagi tubuh manusia. Akhirnya, mereka lebih trampil menyiapkan makanan bagi keluarga, termasuk makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) dan makanan anak balita seperti bubur Kedamba. Bubur ini dibuat dari bahan lokal seperti beras merah, ubi, daun singkong, daun pucuk labu, kacang-kacangan, ikan kering dan santan kelapa.
Dengan demikian, masalah pangan memang kompleks karena menyangkut banyak aspek dan stakeholder. Pemerintah dituntut berperan merubah sejumlah kebijakan agar pro petani dan rakyat miskin. Koordinasi antar lembaga atau antar departemen yang mengurusi masalah pangan juga harus diperbaiki. Amin.
Malang, 27 Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar