Oleh : Satriya Nugraha, SP
satriya1998@gmail.com
Mantan Presiden BEM FP UB 2000-2002
Penulis Buku ”Mewujudkan Pelayanan Publik Prima : Bukan Mimpi”
Wilayah Provinsi Jawa Timur yang luasnya 47.922 km2 (terluas di antara 6 Provinsi di Pulau Jawa) merupakan pemasok 35% bahan pangan dan hortikultura untuk seluruh Indonesia. Beberapa komoditas hasil pertanian dan prosentase kontribusi Jawa Timur terhadap produk pangan nasional tahun 2009 antara lain : padi, 11.096.154 ton (17%), jagung, 5.193.648 ton (31%), kedelai, 333.853 ton (36%), kacang tanah, 219.617 ton (26%), kacang hijau, 89.226 ton (24%), ubi kayu, 3.218.433 ton (16%), ubi jalar, 159.326 ton (16%), buah-buahan, 3.002.660 ton (30%), dan sayuran, 1.093.992 ton (15%).
Disamping itu juga ada beberapa komoditas asal Jawa Timur yang sumbangannya cukup signifikan terhadap stock pangan nasional seperti : daging (15,5%), telur (29,2%), susu (42,3%), tembakau (51%) dan gula (47%). Hal ini menandakan produk-produk pertanian dan perikanan memiliki peranan penting bagi penyediaan pangan dan keberlangsungan kehidupan manusia serta termasuk bagian dari karunia Tuhan Yang Maha Esa sehingga hal tersebut perlu dikelola dan diarahkan untuk kesejahteraan masyarakat baik Jawa Timur maupun Indonesia.
Di tingkat provinsi sendiri, kontribusi terbesar perekonomian Jawa Timur masih didominasi sektor perdagangan, hotel dan restoran (29,36%), industri pengolahan pangan (28,49%) serta pertanian (16,57%). Khusus sektor industri pengolahan, kontribusi terbesar didukung oleh sub sektor makanan, minuman dan tembakau yang angkanya mencapai 52,56% atau 13,71% terhadap total PDRB Jawa Timur. Perkembangan realisasi nilai ekspor non migas, Jawa Timur menunjukkan peningkatan. Terutama untuk ekspor komoditas pertanian dan agribis pada tahun 2008 mencapai US$6.105 atau 52,06% dari total non migas Jawa Timur.
Sektor pertanian yang mencakup tanaman bahan makanan, peternakan, hortikultura, perkebunan, perikanan dan kehutanan, menyerap sekitar 63% dari total angkatan kerja dan memberikan kontribusi sebesar 16,5% dari PDRB Jawa Timur.Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis yang berdiskusi dengan Anggota Komisi B DPRD Jatim 2009-2014, mengemukakan bahwa ternyata Pimpinan dan Komisi B DPRD Jatim 2009-2014 bersama Gubernur Jatim telah menetapkan Perda Provinsi Jatim Nomor 2 tahun 2010 tentang Tata Kelola Produk-Produk Unggulan Pertanian dan Perikanan di Jawa Timur tertanggal 29 Juli 2010. Perda Provinsi Jatim 2/2010 merupakan Perda inisiatif Komisi B DPRD Jatim 2009-2014 untuk melindungi kepentingan petani dan nelayan agar berdaya saing tinggi, tidak kalah dengan oknum ijon, mafia pedagang ikan dan pertanian serta tengkulak.
Hal bisa dianggap suatu inovasi Komisi B DPRD Jatim adalah Perda ini tidak ada turunan UU di atasnya dan selama masih dalam koridor UUD 1945 Amandemen IV, Komisi B DPRD Jatim tidak melanggar ketentuan perundang-undangan yang ada. Penyusunan Perda ini hampir sama dengan Perda Provinsi Jatim 11/2005 tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur. Perda Provinsi Jatim 2/2010 mengamanatkan bahwa Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur melakukan penataan dalam pengembangan produk agribis dengan mengacu pada pangsa pasar, nilai ekonomi, sebaran wilayah produksi dan kesesuaian agroekosistem.
Peningkatan produksi agribis harus diarahkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan yang berkualitas dan aman dimakan dengan tujuan berikutnya guna memenuhi pasar ekspor. Dengan demikian peningkatan mutu dan daya saing produk merupakan kegiatan yang terprogram dibarengi dengan pengembangan pasar, distribusi dan promosi bertaraf nasional maupun internasional. Selain itu, penerapan teknologi produksi, bimbingan yang intensif kepada petani dan pelaku usaha, penguatan kelembagaan petani, peningkatan peran serta kelompok swadaya masyarakat, koperasi dan penguatan modal juga harus dilakukan secara berkelanjutan.
Jika dilihat secara makro, memang kontribusi pembangunan pertanian cukup tinggi, namun secara mikro ada persoalan yang sangat mendasar menyangkut kesejahteraan petani yang merupakan pelaku pembangunan pertanian terbesar, yaitu petani (63%) justru merupakan masyarakat marginal dengan tingkat pendapatan rendah dan tergolong miskin. Perda Provinsi Jatim 2/2010 merupakan peraturan yang mengatur tindak lanjut dari usaha-usaha peningkatan produksi, peningkatan mutu dan peningkatan kinerja petani dan nelayan.
Juga Perda ini mengatur upaya-upaya peningkatan pendapatan petani dan nelayan yaitu penanganan secara modern kegiatan pasca panen yang merupakan kegiatan integral dari pengembangan agroteknologi dan agribisnis di Jawa Timur yang dimulai dari aspek proses produksi bahan mentah sampai pemasaran produk akhir dengan jaminan kualitas dan keamanan pangan sesuai standar internasional maupun standar nasional. Semoga pemerintah Kabupaten / Kota di Jatim benar-benar serius melaksanakan Perda Provinsi Jatim 2/2010 di wilayah masing-masing. Amin.
Blog ini untuk menampilkan dunia penulisan dan karya-karya tulis SATRIYA NUGRAHA,SP ; baik yang sudah dimuat di media massa, dimuat www.kompasiana.com maupun belum dimuat, merupakan wadah bagi pemuda dan komunitas untuk berbagi info dan berbagi ilmu kepenulisan, mengangkat penulis sebagai sebuah profesi, penulis adalah Konsultan Ekowisata, Wirausaha Mesin Abon Ikan CV.FIVASS General Trading Kota Malang,Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Jawa Timur 2014-2019.
Kamis, 14 April 2011
Carut Marut Pergulaan Jawa Timur
Oleh : Satriya Nugraha, SP
satriya1998@gmail.com
Mantan Presiden BEM FP UB 2000-2002
Penulis Buku ”Mewujudkan Pelayanan Publik Prima : Bukan Mimpi”
Pepatah Indonesia mengatakan ”ada gula ada semut”, kondisi ini terjadi dalam dunia budidaya kebun tebu dan pasca panen tanaman bentuk dalam bentuk gula. Beberapa bulan sebelumnya, tujuh pabrik gula mau ditutup oleh Menteri BUMN RI, namun hal ini didengar oleh Komisi B DPRD Jatim periode 2009-2014 sehingga Komisi B DPRD Jatim periode 2009-2014 berupaya menggagalkan penutupan pabrik gula tersebut. Alasan yang dikemukakan Kementrian BUMN RI terhadap penutupan pabrik gula tersebut adalah pabrik gula selalu dianggap merugi terus. Padahal mereka tidak pernah rugi, sebagian pimpinan dan karyawan pabrik gula selalu mempermainkan rendemen tebu petani, sehingga mendapatkan keuntungan bertahun-tahun.
Sebagian pimpinan pabrik gula yang berpikiran jangka pendek mengeluarkan kebijakan menutup pabrik gula. Akhirnya Kementrian BUMN RI tidak jadi menutup ketujuh pabrik gula di Jawa Timur setelah mendapatkan surat desakan Komisi B DPRD Jatim untuk tidak menutup pabrik gula tersebut. Gaji pimpinan pabrik gula perlu dievaluasi besarannya, managemen pabrik gula perlu terbuka dan menguntungkan petani tebu di masa depan. Sebagian mereka sering merugikan petani tebu yang tidak mau berkolusi dengan mandor dalam urusan pengukuran rendemen tebu.
Rendemen ada tiga : rendemen geregetan (kolusi dengan oknum pejabat), rendemen kongkalikong dengan asosiasi tebu dan rendemen sesuai pengukuran kualitas dari mandor pabrik gula. Kesemuanya rendemen jarang dilakukan secara terukur dan terbuka bagi informasi publik. Berkenaan dengan hal tersebut, Komisi B DPRD Jatim berencana menyusun Raperda Jatim tentang Rendemen Tebu di Jawa Timur pada tahun 2011. Dengan demikian, latar belakang Raperda ini ingin melindungi hak dan kewajiban petani tebu secara legal dan sejahtera.
Hal yang aneh, Provinsi Jawa Timur sebagai penghasil utama lumbung pergulaan nasional, dikenai Harga Pokok Pembelian Gula dari petani sebesar Rp. 5.250,- kemudian dijual di pasaran sebesar Rp. 11.000,- – Rp. 12.000,-. Selisih margin keuntungan HPP dan Harga Penjualan tersebut selalu menguntungkan pedagang gula, dan diduga terkait dengan mafia gula / kartel gula. Hal ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Kondisi inilah mengetuk hati Komisi B DPRD Jatim melakukan inisiatif Raperda Jatim tentang Rendemen Tebu di Jawa Timur. Gula Jawa Timur sering mensuplai stok gula di daerah Indonesia Timur sehingga perlu dilakukan peraturan yang memproteksi perdagangan gula dan melindungi kesejahteraan petani tebu.
Provinsi Jawa Timur sebagai penghasil utama gula nasional, sebaiknya harga gula dijual sekitar Rp. 7.000 – 8.000,- ; ternyata dijual sebesar Rp. 11.000 – Rp.12.000,-. (asumsinya harga ini dipermainkan oleh mafia gula / kartel gula). Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebaiknya menetapkan batas bawah pembelian gula dan batas atas penjualan harga gula di Jawa Timur. Hal ini perlu dilakukan agar tidak dipermainkan oleh oknum mafia gula dan kartel gula di masa depan. Fakta lain juga, Petani tebu mencari rendemen yang sesuai harapan mereka. Mereka membawa truk tebu dari satu pabrik gula ke pabrik gula ini. Hal ini terjadi karena tidak ada kepastian rendemen tebu secara terukur dan sistematis dikhawatirkan menimbulkan kekacauan dalam perdagangan gula.
Truk tebu menjadi boros dalam pemakaian bahan bakar solar sehingga bisa menimbulkan dampak global warming dan merusak jalan yang tidak sesuai dengan kapasitas tonase. Fakta ini bisa dikurangi apabila ada regulasi yang memastikan kualitas dan kuantitas rendemen tebu secara jelas di masa depan. Tidak lupa juga, pabrik gula dalam bentuk perseroan terbatas, sebaiknya melakukan fungsi corporate social responsbility. Hal ini berdasarkan UU Nomor 40 tahun 2007 yang mengamanatkan perseroan terbatas sebaiknya melaksanakan kegiatan CSR. CSR bisa dalam bentuk bantuan permodalan kepada keluarga petani tebu, bantuan beasiswa penelitian, perbaikan dan preservasi jalan yang dilalui truk tebu, bantuan dana perbaikan kesuburan tanah di lahan perkebunan tebu, bantuan dana biaya kuliah / sekolah bagi anak buruh petani tebu yang berprestasi.
Masyarakat Jawa Timur (akademisi pertebuan, aktivis mahasiswa, BEM / DPM, akademisi pertanian, LSM, praktisi politik, PHRI, ASITA, HKTI, KTNA dan sebagainya) perlu mengawal Raperda Jatim tentang Rendemen Tebu di Jawa Timur agar bisa terwujud sehingga Komisi B DPRD Jatim bisa melindungi petani tebu dan mensejahterakan petani tebu di Jawa Timur. Ada kemungkinan, oknum kelompok pedagang besar gula berupaya menggagalkan Raperda Jatim tentang Rendemen Tebu di Jawa Timur di masa depan. Sudah saatnya DPRD Provinsi Jawa Timur mempelopori Raperda Jatim tentang Rendemen Tebu di Jawa Timur sehingga bisa menjadi percontohan Provinsi lain di Indonesia. Amin.
Malang, 7 Maret 2011
satriya1998@gmail.com
Mantan Presiden BEM FP UB 2000-2002
Penulis Buku ”Mewujudkan Pelayanan Publik Prima : Bukan Mimpi”
Pepatah Indonesia mengatakan ”ada gula ada semut”, kondisi ini terjadi dalam dunia budidaya kebun tebu dan pasca panen tanaman bentuk dalam bentuk gula. Beberapa bulan sebelumnya, tujuh pabrik gula mau ditutup oleh Menteri BUMN RI, namun hal ini didengar oleh Komisi B DPRD Jatim periode 2009-2014 sehingga Komisi B DPRD Jatim periode 2009-2014 berupaya menggagalkan penutupan pabrik gula tersebut. Alasan yang dikemukakan Kementrian BUMN RI terhadap penutupan pabrik gula tersebut adalah pabrik gula selalu dianggap merugi terus. Padahal mereka tidak pernah rugi, sebagian pimpinan dan karyawan pabrik gula selalu mempermainkan rendemen tebu petani, sehingga mendapatkan keuntungan bertahun-tahun.
Sebagian pimpinan pabrik gula yang berpikiran jangka pendek mengeluarkan kebijakan menutup pabrik gula. Akhirnya Kementrian BUMN RI tidak jadi menutup ketujuh pabrik gula di Jawa Timur setelah mendapatkan surat desakan Komisi B DPRD Jatim untuk tidak menutup pabrik gula tersebut. Gaji pimpinan pabrik gula perlu dievaluasi besarannya, managemen pabrik gula perlu terbuka dan menguntungkan petani tebu di masa depan. Sebagian mereka sering merugikan petani tebu yang tidak mau berkolusi dengan mandor dalam urusan pengukuran rendemen tebu.
Rendemen ada tiga : rendemen geregetan (kolusi dengan oknum pejabat), rendemen kongkalikong dengan asosiasi tebu dan rendemen sesuai pengukuran kualitas dari mandor pabrik gula. Kesemuanya rendemen jarang dilakukan secara terukur dan terbuka bagi informasi publik. Berkenaan dengan hal tersebut, Komisi B DPRD Jatim berencana menyusun Raperda Jatim tentang Rendemen Tebu di Jawa Timur pada tahun 2011. Dengan demikian, latar belakang Raperda ini ingin melindungi hak dan kewajiban petani tebu secara legal dan sejahtera.
Hal yang aneh, Provinsi Jawa Timur sebagai penghasil utama lumbung pergulaan nasional, dikenai Harga Pokok Pembelian Gula dari petani sebesar Rp. 5.250,- kemudian dijual di pasaran sebesar Rp. 11.000,- – Rp. 12.000,-. Selisih margin keuntungan HPP dan Harga Penjualan tersebut selalu menguntungkan pedagang gula, dan diduga terkait dengan mafia gula / kartel gula. Hal ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Kondisi inilah mengetuk hati Komisi B DPRD Jatim melakukan inisiatif Raperda Jatim tentang Rendemen Tebu di Jawa Timur. Gula Jawa Timur sering mensuplai stok gula di daerah Indonesia Timur sehingga perlu dilakukan peraturan yang memproteksi perdagangan gula dan melindungi kesejahteraan petani tebu.
Provinsi Jawa Timur sebagai penghasil utama gula nasional, sebaiknya harga gula dijual sekitar Rp. 7.000 – 8.000,- ; ternyata dijual sebesar Rp. 11.000 – Rp.12.000,-. (asumsinya harga ini dipermainkan oleh mafia gula / kartel gula). Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebaiknya menetapkan batas bawah pembelian gula dan batas atas penjualan harga gula di Jawa Timur. Hal ini perlu dilakukan agar tidak dipermainkan oleh oknum mafia gula dan kartel gula di masa depan. Fakta lain juga, Petani tebu mencari rendemen yang sesuai harapan mereka. Mereka membawa truk tebu dari satu pabrik gula ke pabrik gula ini. Hal ini terjadi karena tidak ada kepastian rendemen tebu secara terukur dan sistematis dikhawatirkan menimbulkan kekacauan dalam perdagangan gula.
Truk tebu menjadi boros dalam pemakaian bahan bakar solar sehingga bisa menimbulkan dampak global warming dan merusak jalan yang tidak sesuai dengan kapasitas tonase. Fakta ini bisa dikurangi apabila ada regulasi yang memastikan kualitas dan kuantitas rendemen tebu secara jelas di masa depan. Tidak lupa juga, pabrik gula dalam bentuk perseroan terbatas, sebaiknya melakukan fungsi corporate social responsbility. Hal ini berdasarkan UU Nomor 40 tahun 2007 yang mengamanatkan perseroan terbatas sebaiknya melaksanakan kegiatan CSR. CSR bisa dalam bentuk bantuan permodalan kepada keluarga petani tebu, bantuan beasiswa penelitian, perbaikan dan preservasi jalan yang dilalui truk tebu, bantuan dana perbaikan kesuburan tanah di lahan perkebunan tebu, bantuan dana biaya kuliah / sekolah bagi anak buruh petani tebu yang berprestasi.
Masyarakat Jawa Timur (akademisi pertebuan, aktivis mahasiswa, BEM / DPM, akademisi pertanian, LSM, praktisi politik, PHRI, ASITA, HKTI, KTNA dan sebagainya) perlu mengawal Raperda Jatim tentang Rendemen Tebu di Jawa Timur agar bisa terwujud sehingga Komisi B DPRD Jatim bisa melindungi petani tebu dan mensejahterakan petani tebu di Jawa Timur. Ada kemungkinan, oknum kelompok pedagang besar gula berupaya menggagalkan Raperda Jatim tentang Rendemen Tebu di Jawa Timur di masa depan. Sudah saatnya DPRD Provinsi Jawa Timur mempelopori Raperda Jatim tentang Rendemen Tebu di Jawa Timur sehingga bisa menjadi percontohan Provinsi lain di Indonesia. Amin.
Malang, 7 Maret 2011
Mafia Daging Sapi di Jawa Timur
Mafia Daging Sapi di Jawa Timur
Oleh : Satriya Nugraha, SP
satriya1998@gmail.com
Mantan Presiden BEM FP UB 2000-2002
Penulis Buku ”Mewujudkan Pelayanan Publik Prima : Bukan Mimpi”
Sapi sebagai salah satu hewan ternak yang potensial, ternyata masih terpendam berbagai permasalahan yang menimbulkan kerugian besar di kalangan konsumen pembeli daging sapi. Senin, 07 Maret 2011, saya diskusi dengan peternak kambing di Kec. Junrejo Kota Batu, peternak sapi di Kecamatan Dampit, peternak sapi di Kecamatan Wajak dan peternak sapi di Kecamatan Dau Kabupaten Malang. Rabu, 09 Maret 2011, saya berdiskusi langsung dengan Anggota Komisi B DPRD Jatim 2009-2014 mengenai permasalahan perdagangan sapi dan sebagainya.
Permasalahan tersebut antara lain ada fakta, daging sapi impor yang digunakan untuk pakan ternak malah dijual dagingnya di pasar tradisional. Kemudian masih ada oknum tukang jagal yang memotong sapi betina bunting untuk dijual di pasar padahal berdasarkan UU 18/2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan dilarang membunuh sapi betina yang masih bunting. Kurangnya stok daging sapi dalam memenuhi kebutuhan daging sapi di Jawa Timur dan Nasional. Masih mahalnya harga pakan ternak sapi, kambing, ayam dan hewan sejenis lainnya dari pabrikan yang malah merugikan peternak di masa depan.
Permasalahan selanjutnya adalah adanya permainan harga dari anggota kelompok pedagang jual beli daging sapi (mafia). Harga daging sapi dari peternak sapi sebesar kisaran Rp. 22-23 ribu sedangkan harga daging sapi dijual di pasar sebesar Rp. 50-55 ribu. Selisih margin keuntungan Rp. 24-25 ribu. Harga ini seragam di tingkatan pedagang se-Indonesia. Makanya tukang jagal tidak ada yang miskin, kebanyakan kaya raya. Perputaran omset penjualan daging sapi sebesar Rp. 4 – 5 triliun setiap bulan se Indonesia. Kondisi inilah yang perlu diputus mata rantai pedagang jual beli daging sapi. Daging sapi gelonggongan (diberi air) perlu diwaspadai juga peredarannya di pasar modern dan pasar tradisional.
Berkaitan dengan permasalahan di atas adalah perlunya Raperda Jatim tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di Jatim. Hal ini untuk melindungi peternak sapi pembesaran (pedaging) dalam bertransaksi daging sapi. Peternak sebaiknya tidak menjual daging sapi dalam bentuk gelondongan, tetapi dijual dalam bentuk karkas (daging segar) secara langsung dan tidak dalam bentuk gelondongan melalui tengkulak. Raperda ini perlu mengatur sapi betina bunting tidak boleh dibunuh, untuk menjaga kelestarian dan kemurnian genetis, untuk mewujudkan swasembada ternak 2014. Pemerintah daerah kabupaten / kota di Jawa Timur sebaiknya menyediakan dana pembelian sapi betina produktif yang berasal dari masyarakat.
Berdasarkan UU 18/2009 pasal 18 ayat (2) menyebutkan bahwa ternak ruminansia betina produktif dilarang disembelih karena merupakan penghasil ternak yang baik, kecuali untuk keperluan penelitian, pemuliaan, atau pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan. Pasal 18 ayat (3) menyebutkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah kabupaten/kota menyediakan dana untuk menjaring ternak ruminansia betina produktif yang dikeluarkan oleh masyarakat dan menampung ternak tersebut pada unit pelaksana teknis di daerah untuk keperluan penangkaran dan penyediaan bibit ternak ruminansia di daerah tersebut.
Raperda Jatim tersebut juga mengatur pengawasan terhadap pengadaan dan peredaran bahan pakan dan tumbuhan atau tanaman pakan yang tergolong bahan pangan dilakukan secara terkoordinasi antar instansi atau departemen. Dengan demikian, dalam rangka pengadaan pakan dan/atau bahan pakan yang tergolong bahan pangan, Pemerintah kabupaten / kota harus mengutamakan bahan baku pakan lokal. Hal ini untuk keseimbangan ketersediaan pakan ternak lokal dan pabrikan sehingga mempermudah pengembangan kawasan budidaya ternak.
Pakan yang dibuat untuk diedarkan secara komersial harus memenuhi standar atau persyaratan teknis minimal dan keamanan pakan serta memenuhi ketentuan cara pembuatan pakan yang baik yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Pemerintah Provinsi Jatim perlu menetapkan batas bawah dan batas atas harga jual daging sapi sehingga peternak sejahtera beternak sapi dan sejenisnya dan tidak dipermainkan oknum mafia kelompok pedagang daging sapi di Jawa Timur dan Nasional. Mari kita mendukung Komisi B DPRD Jatim 2009-2014 dalam merancang Raperda Jatim tentang peternakan dan kesehatan hewan di Jawa Timur. Diperlukan keterlibatan akademisi peternakan, peternak sapi, LSM, BEM Peternakan/Pertanian dan sebagainya untuk mewujudkan pengesahan Raperda tersebut. Amin.
Malang, 10 Maret 2011
Oleh : Satriya Nugraha, SP
satriya1998@gmail.com
Mantan Presiden BEM FP UB 2000-2002
Penulis Buku ”Mewujudkan Pelayanan Publik Prima : Bukan Mimpi”
Sapi sebagai salah satu hewan ternak yang potensial, ternyata masih terpendam berbagai permasalahan yang menimbulkan kerugian besar di kalangan konsumen pembeli daging sapi. Senin, 07 Maret 2011, saya diskusi dengan peternak kambing di Kec. Junrejo Kota Batu, peternak sapi di Kecamatan Dampit, peternak sapi di Kecamatan Wajak dan peternak sapi di Kecamatan Dau Kabupaten Malang. Rabu, 09 Maret 2011, saya berdiskusi langsung dengan Anggota Komisi B DPRD Jatim 2009-2014 mengenai permasalahan perdagangan sapi dan sebagainya.
Permasalahan tersebut antara lain ada fakta, daging sapi impor yang digunakan untuk pakan ternak malah dijual dagingnya di pasar tradisional. Kemudian masih ada oknum tukang jagal yang memotong sapi betina bunting untuk dijual di pasar padahal berdasarkan UU 18/2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan dilarang membunuh sapi betina yang masih bunting. Kurangnya stok daging sapi dalam memenuhi kebutuhan daging sapi di Jawa Timur dan Nasional. Masih mahalnya harga pakan ternak sapi, kambing, ayam dan hewan sejenis lainnya dari pabrikan yang malah merugikan peternak di masa depan.
Permasalahan selanjutnya adalah adanya permainan harga dari anggota kelompok pedagang jual beli daging sapi (mafia). Harga daging sapi dari peternak sapi sebesar kisaran Rp. 22-23 ribu sedangkan harga daging sapi dijual di pasar sebesar Rp. 50-55 ribu. Selisih margin keuntungan Rp. 24-25 ribu. Harga ini seragam di tingkatan pedagang se-Indonesia. Makanya tukang jagal tidak ada yang miskin, kebanyakan kaya raya. Perputaran omset penjualan daging sapi sebesar Rp. 4 – 5 triliun setiap bulan se Indonesia. Kondisi inilah yang perlu diputus mata rantai pedagang jual beli daging sapi. Daging sapi gelonggongan (diberi air) perlu diwaspadai juga peredarannya di pasar modern dan pasar tradisional.
Berkaitan dengan permasalahan di atas adalah perlunya Raperda Jatim tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di Jatim. Hal ini untuk melindungi peternak sapi pembesaran (pedaging) dalam bertransaksi daging sapi. Peternak sebaiknya tidak menjual daging sapi dalam bentuk gelondongan, tetapi dijual dalam bentuk karkas (daging segar) secara langsung dan tidak dalam bentuk gelondongan melalui tengkulak. Raperda ini perlu mengatur sapi betina bunting tidak boleh dibunuh, untuk menjaga kelestarian dan kemurnian genetis, untuk mewujudkan swasembada ternak 2014. Pemerintah daerah kabupaten / kota di Jawa Timur sebaiknya menyediakan dana pembelian sapi betina produktif yang berasal dari masyarakat.
Berdasarkan UU 18/2009 pasal 18 ayat (2) menyebutkan bahwa ternak ruminansia betina produktif dilarang disembelih karena merupakan penghasil ternak yang baik, kecuali untuk keperluan penelitian, pemuliaan, atau pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan. Pasal 18 ayat (3) menyebutkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah kabupaten/kota menyediakan dana untuk menjaring ternak ruminansia betina produktif yang dikeluarkan oleh masyarakat dan menampung ternak tersebut pada unit pelaksana teknis di daerah untuk keperluan penangkaran dan penyediaan bibit ternak ruminansia di daerah tersebut.
Raperda Jatim tersebut juga mengatur pengawasan terhadap pengadaan dan peredaran bahan pakan dan tumbuhan atau tanaman pakan yang tergolong bahan pangan dilakukan secara terkoordinasi antar instansi atau departemen. Dengan demikian, dalam rangka pengadaan pakan dan/atau bahan pakan yang tergolong bahan pangan, Pemerintah kabupaten / kota harus mengutamakan bahan baku pakan lokal. Hal ini untuk keseimbangan ketersediaan pakan ternak lokal dan pabrikan sehingga mempermudah pengembangan kawasan budidaya ternak.
Pakan yang dibuat untuk diedarkan secara komersial harus memenuhi standar atau persyaratan teknis minimal dan keamanan pakan serta memenuhi ketentuan cara pembuatan pakan yang baik yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Pemerintah Provinsi Jatim perlu menetapkan batas bawah dan batas atas harga jual daging sapi sehingga peternak sejahtera beternak sapi dan sejenisnya dan tidak dipermainkan oknum mafia kelompok pedagang daging sapi di Jawa Timur dan Nasional. Mari kita mendukung Komisi B DPRD Jatim 2009-2014 dalam merancang Raperda Jatim tentang peternakan dan kesehatan hewan di Jawa Timur. Diperlukan keterlibatan akademisi peternakan, peternak sapi, LSM, BEM Peternakan/Pertanian dan sebagainya untuk mewujudkan pengesahan Raperda tersebut. Amin.
Malang, 10 Maret 2011
Langganan:
Postingan (Atom)