Oleh : Satriya Nugraha, SP
satriya1998@yahoo.com
Mantan Presiden BEM Fakultas Pertanian Unibraw 2000-2002
Konsultan Pertanian Organik, Agroindustri dan Evaluasi Lahan Pertanian
agricoach-inc.com
Proses urbanisasi yang tidak terkendali, semakin mendesak produktivitas pertanian. Secara lebih mikro, tingginya urbanisasi ditunjukkan dengan adanya konversi lahan kawasan pertanian menjadi kawasan perkotaan dan pemukiman. Di pantai utara Pulau Jawa, mencapai kurang lebih 20 % berkurang luasan lahan pertanian. Kondisi ini mengakibatkan Indonesia harus mengimpor produk-produk pertanian untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Tercatat, pada tahun 2000, Indonesia harus mengimpor kedelai sebanyak 1.277.685 ton dengan nilai nominal USD 275 juta, mengimpor sayur-sayuran senilai USD 62 juta dan buah-buahan senilai USD 65 juta. Tidak bisa dipungkiri, bahwa jumlah lahan subur, khususnya untuk lahan pertanian, kini makin berkurang sekitar 145.000 Ha per tahun. Degradasi sumber daya lahan dan hutan 2,5 – 2,8 juta Ha per tahun sedangkan rehabilitasi dan ekstensifikasi lahan pertanian hanya 400.000 – 500.000 Ha per tahun.
Hal ini kontradiksi dengan tuntutan atau kebutuhan atas lahan kian meningkat. Juga penduduk Indonesia terus bertambah yang membawa tuntutan ketersediaan lahan, pangan, pemukiman, water catchment area, sarana olahraga dan sebagainya. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2030, diperkirakan akan bertambah mencapai kurang lebih 300 juta orang. Hal ini memunculkan kerisauan akan terjadi keadaan ”rawan pangan” di masa mendatang.
Permasalahan selanjutnya, adanya ketimpangan struktur penguasaan lahan yang semakin nyata dan mencolok. Di berbagai wilayah, konflik agraria terus-menerus terjadi diiringi dengan kekerasan terhadap petani. Ditambah lagi, krisis turunan agraria seperti krisis air, terjadinya bencana alam (banjir, kekeringan, gemnpa bumi, longsor), krisis lahan pangan dan perkebunan, penggusuran, penyerobotan dan sebagainya akan terus meningkat. Konflik pertanahan secara kuantitatif tidak kian berkurang, skalanya tidak kian mengecil namun meluas.
Berdasarkan kondisi tersebut, perubahan paradigma dalam pendekatan pembangunan harus dilakukan. Pembangunan nasional yang cenderung memfavoritkan pembangunan perkotaan sebagai satu-satunya mesin pertumbuhan yang handal harus direvisi. Pembangunan perdesaan harus mulai didorong guna mengatasi permasalahan pembangunan yang terjadi. Pendekatan yang selama ini memisahkan pembangunan kawasan perdesaan dengan perkotaan harus ditinjau kembali. Hal ini disebabkan terdapatnya keterkaitan dan ketergantungan baik secara fungsional maupun secara keruangann antara kawasan pedesaan dan perkotaan.
Prof. D. Gale Johnson, peraih Nobel dari University of Chicago, mengkaji dampak kebijakan perdagangan di berbagai negara. Dengan kajian yang mendalam, akhirnya beliau menyimpulkan bahwa telah terjadi kebijakan yang menganaktirikan sektor pertanian, terutama di negara-negara sedang berkembang. Padahal sektor pertanian sangat dilindungi di negara maju. Di Eropa, dengan argumen multifunctionally pertanian, cenderung ketat dalam mensubsidi sektor pertanian. Argumen multifunctionally memandang pertanian tidak dapat dari sisi produksi dan perdagangan saja, melainkan juga dari aspek kedaulatan pangan, ketahanan pangan, proteksi harga pangan, kelestarian lingkungan dan pembangunan perdesaan.
Dengan demikian, mari kita mensupport pemerintah dan DPR RI untuk segera mensahkan RUU Pembangunan Pedesaan dan RUU Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan agar Lahan Pertanian Pangan kita tidak semakin kritis, terwujudnya kedaulatan pangan masyarakat dan pembangunan perdesaan menjadi landasan penting pembangunan nasional dalam pemerintah Presiden RI dan Kabinet Tahun 2009-2014. Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar