Selasa, 20 Juli 2010

Kemajuan Pendidikan Dasar, Menengah dan Pendidikan Tinggi, Sebuah Mimpi?

Oleh Satriya Nugraha, SP *)
Mantan Ketua Tim Sukses Anggota Komisi B DPRD Jawa Timur
Penulis Buku “Jatim Sebagai Pelopor Pelayanan Publik Prima di Indonesia”
Trainer Leadership dan Kepemudaan di Malang Raya
GHOST WRITER ( popular science writing consulting)

Pada jaman Belanda masih sedikit jumlah orang pribumi desa bisa meneruskan sekolah sampai perguruan tinggi. Meski secara intelektual, motivasi maupun keuangan mereka mampu, namun kenyataannya sedikit orang yang bisa meneruskan pendidikan sampai perguruan tinggi. Salah satu penyebabnya adalah adanya batasan kuota kursi bagi pribumi untuk belajar di sekolah-sekolah berbahasa Belanda. Pada saat itu, pribumi yang bersekolah di sana hanya berasal dari golongan tertentu, umpamanya : keturunan bangsawan atau anak-anak pejabat ambtenaar. Dibandingkan anak-anak bangsa lain yang tinggal di Hindia-Belanda, kesempatan belajar pribumi relatif lebih kecil. Dalam Sejarah Pendidikan Indonesia karangan Prof. Dr. S. Nasution M.A. dikemukakan : pada tahun 1930 anak Belanda berkesempatan 100 kali lebih baik untuk sekolah di M.U.L.O, 1000 kali lebih baik untuk bersekolah di sekolah tingkat menengah atau atas, daripada anak-anak pribumi Indonesia. Begitu pula anak-anak Tionghoa. Anak-anak Cina berkesempatan 15 kali lebih banyak untuk masuk sekolah berbahasa Belanda, 10 kali lebih berkesempatan belajar di M.U.L.O, 35 kali lebih berkesempatan melanjutkan ke jenjang sekolah tinggi menengah/atas, daripada anak-anak pribumi asli.
Selain faktor pembatasan, akses lembaga pendidikan bagi pribumi tidak merata di seluruh propinsi, terutama setelah tahun 1892. Mulai tahun tersebut lembaga pendidikan maupun sekolah lanjutan hampir seluruhnya berada di Pulau Jawa. Hingga tahun 1930, M.U.L.O, sekolah pertama yang membuka kesempatan luas bagi lulusan E.L.S dan H.I.S dari pribumi atau Indo-Belanda, nyaris hanya terdapat di Pulau Jawa saja. Kenyataan tersebut memaksa anak-anak luar pulau merantau ke Jawa untuk meneruskan sekolah. Tapi tidak semua anak rantau bisa menyelesaikan sekolahnya. Keterbatasan biaya membuat anak-anak sekolah rendah yang melanjutkan sekolah putus di kelas I atau di kelas II.
Pendidikan Belanda yang mengacu pada pola pendidikan barat tergolong mahal untuk saku pribumi. Rata-rata pribumi kita,apalagi yang berasal dari luar pulau Jawa, tidak begitu besar penghasilannya. Pada umumnya pendapatan mereka, tidak ada yang melebihi f 150,- sebulan. Seperempat pendapatan orangtua kerap dikorbankan untuk keberlangsungan pendidikan sang anak. Tambah berat bagi anak-anak daerah yang merantau. Orangtua mesti mempersiapkan ongkos pemondokan, transport, juga sandang-pangan bagi anak-anaknya yang bersekolah di Jawa.
Kesenjangan pendidikan antara anak-anak Belanda dengan anak-anak Indonesia, memang terlihat begitu kentara. Waktu kesempatan belajar bagi kalangan anak pribumi diperluas, tetap saja anak-anak Belanda lebih maju beberapa langkah dibandingkan pribumi. Beban bagi pribumi bukan semata-mata soal pembatasan, kurikulum, biaya pendidikan atau akomodasi bagi anak-anak daerah yang melanjutkan sekolah jauh dari pulau kelahiran. Fakta sejarah mengungkapkan, bahwa anak Belanda memang lebih dulu mengecap pendidikan dasar, menengah dan atas (akhir abad 19). Kira-kira lebih cepat setengah abad dari anak-anak Indonesia. Berbagai masalah yang membebani anak-anak Indonesia dalam melanjutkan pendidikan di era kolonial, berdampak pada kelangkaan sumber daya bumiputera yang melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi lokal. Hanya 91 orang Indonesia yang tercatat di tiga perguruan tinggi yang ada pada tahun 1930.
Dan menjelang berakhirnya penjajahan kolonial Belanda, jumlah orang Indonesia yang menyandang predikat mahasiswa hanya 3 orang/1 juta penduduk. Artinya, hanya 167 orang Indonesia yang belajar di perguruan tinggi ketika itu. Jauh melampaui era kolonial, pendidikan layak ternyata masih menjadi beban berat bagi sebagian masyarakat. Semenjak komersialisasi (tahun 2000) menjangkiti perguruan tinggi- tak hanya perguruan tinggi swasta- makin banyak orangtua yang jengah disaat anaknya perlu biaya melanjutkan sekolah. Masih serupa dengan jaman kolonial dulu, perguruan tinggi yang dianggap credible-pun kebanyakan masih terdapat di Pulau Jawa. Universitas luar Jawa yang dianggap credible masih bisa dihitung jari. Beberapa diantaranya adalah : Universitas Sriwijaya (Palembang), Universitas Hasanuddin (Makassar), atau Universitas Udayana (Bali).
Jaman memang sudah jauh berubah. Tidak ada pembatasan diskriminatif bagi siapa pun untuk memilih dan kuliah di perguruan tinggi. Hanya saja, biaya pendidikan, khususnya untuk perguruan tinggi selalu merangkak naik dari tahun ke tahun. Hal ini menjadikan masyarakat golongan bawah sulit mengakses pendidikan yang layak dan terjangkau. Ya. jaman memang sudah berubah. Namun masyarakat berpenghasilan rendah, golongan bawah yang masih berada dibawah garis kemiskinan, tidak banyak berubah nasibnya. Sistem pendidikan kolonial telah bersalin rupa menjadi sistem pendidikan komersial. Sehingga akses kesana membutuhkan dana yang tidak sedikit. Itulah kenyataan yang mesti dihadapi masyarakat kecil di Indonesia. Pendidikan tinggi masih sebuah mimpi, sebuah ketidak-niscayaan dalam prasangka anak pribumi.
Hal ini kontras waktu pada tanggal 22 Februari 2010, pernyataan Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Dr Joko Santoso baru-baru ini yang mengutarakan soal dua area hakekat fundamental pendidikan tinggi. Kedua area itu adalah kompetensi keilmuan dan kegunaan. Diuraikan sang rektor bahwa kompetensi keilmuan merupakan syarat perlu bagi solusi pengembangan pendidikan jangka panjang, sedangkan kompetensi kegunaan adalah syarat mutlak untuk pembangunan infrastruktur pendidikan berjangka pendek. Tanpa bermaksud mengkritik ataupun mewakili, bagi Bangsa Indonesia, pernyataan di atas pada dasarnya masih sebatas input semata atau mungkin orang akan setuju menyebutnya wacana komprehensif.
Juga pada tanggal 22 Februari 2010, Prof. Dr. H. Arief Rachman, M.Pd menjelaskan bahwa paradigma sukses pendidikan berfondasi pada 5 hal yaitu, Taqwa, Pribadi yang matang, Pengetahuan tentang ilmu yang mukhtahir dan berprestasi, mempunyai rasa kebangsaan dan berwawasan global. “Pendidikan tidak hanya permasalahan otak saja, tetapi menyangkut sisi emosional, hingga perlakuan mental siswa yang terdidik” ucap bapak Arief Rachman yang juga menjabat sebagai Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO. Pandangan bapak Arief Rachman tentunya menjadi pembanding bagi paradigma masyarakat yang selama ini menganggap bagian pendidikan yang terpenting hanyalah pencapaian indeks nilai semata.
Profesor Arief Rachman mengatakan bahwa anak butuh akhlak dan watak. Beliau melihat pendidikan di Indonesia secara umum hanya menekankan aspek kognitif (pikiran, akademis). Hal-hal yang sifatnya terukur saja. Sementara itu, soal akhlak dan watak serta hal lain yang tidak terukur, boleh dibilang ditelantarkan. Padahal kalau kita membaca tujuan pendidikan dalam Undang-Undang Pendidikan, kita bisa melihat bahwa tujuan pendidikan itu memuat juga kedua hal tersebut. Inilah yang menyebabkan bangsa ini sulit menjadi bangsa yang besar. Korupsi masih ada di mana-mana, sikap tidak sportif merebak di berbagai dimensi kehidupan dan sikap-sikap negatif lainnya.
Baru-baru ini, Senin, 21 Jun 2010, sejumlah fraksi di DPRD Jatim ramai-ramai mengkritik kebijakan Gubernur Jawa Timur Soekarwo selama satu tahun terakhir. Dalam sidang paripurna di gedung DPRD Jatim, Jalan Indrapura, Surabaya, Senin, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menilai Gubernur selama ini banyak bicara tanpa mempraktikkannya di lapangan. "Buktinya, program pendidikan gratis yang digembar-gemborkan Gubernur tidak terealisasi. 'Sharing' pembiayaan antara Pemprov Jatim debfan pemerintah kabupaten/kota sebesar 60:40 tidak jalan," kata Badrut Tamam selaku juru bicara Fraksi PKB. Apalagi, pencairan anggaran untuk program itu juga tidak tepat waktu, sehingga pendidikan gratis hanya sebatas slogan karena faktanya peserta didik tetap dikenai biaya pendidikan. Oleh karena itu, Fraksi PKB mendesak Gubernur segera merevisi dan memperjelas program pendidikan gratis yang ditunggu-tunggu masyarakat.
Belum lagi, akhir-akhir ini, kita sering mendengar berita tentang meningkatnya kenakalan remaja dan anak muda. Mulai dari tawuran pelajar, adu jotos antarpelajar senior-yunior, tindak kriminal, bahkan pemakaian narkoba di usia muda. Sangat disayangkan bila generasi muda, penerus tongkat estafet sejarah bangsa yang besar ini, tidak dapat menjadi penerus sejarah bangsa sebagaimana yang diharapkan founding fathers negeri ini. Permasalahan tersebut tentu bukannya timbul tanpa alasan. Lingkungan di mana mereka berada sangat memengaruhi tindakan-tindakan yang ditunjukkan oleh generasi muda saat ini. Modernisasi yang mulai menelisik ke setiap denyut nadi kehidupan, tentu membuka peluang munculnya pengaruh-pengaruh positif dan negatif bagi generasi muda kita.
Di desa dan perkampungan, listrik yang masuk tentu memberi warna tersendiri bagi kehidupan masayarakat. Banyak segi positif yang dapat diperoleh dari listrik masuk desa, namun tak kalah juga jaringan televisi dan internet yang masuk dapat membawa pengaruh negatif. Di perkotaan, modernisasi boleh dibilang merupakan harga mati. Di saat dunia terhubung tanpa batas, internet membuat borderless country, membuat perkotaan mustahil dapat mengucilkan diri dari arus besar perubahan dan modernisasi. Lengkap dengan segala konsekuensinya, baik yang bermanfaat bagi masyarakat banyak (positif), maupun yang negatif yaitu memengaruhi sikap, cara pandang, perilaku, dan tata krama masyarakat, yang selama ini terkenal dengan adat budaya ketimurannya yang kental.
Bila kita lihat kekerasan yang kerap dipertontonkan, baik dalam media telivisi, koran, majalah, maupun internet, tentu itu akan terekam baik di benak kita. Apalagi di kalangan anak-anak muda yang masih sangat polos, bak merpati putih tak berdosa, dengan segudang rasa ingin tahu. Terkadang, mereka salah melangkah sehingga cenderung mencontoh pola-pola kekerasan dan hal-hal tidak baik lainnya. Tak jarang emosi di kalangan remaja menjadi mudah terpacu hanya karena hal-hal sepele. Akibatnya, terjadi tawuran pelajar di mana-mana.
Kekerasan, kenakalan, dan perilaku anarkis lainnya di kalangan generasi muda kita sangatlah memprihatinkan akhir-akhir ini sehingga perlu dicarikan solusinya segera. Dalam masyarakat kita ada norma, adab, dan kebiasaan yang umumnya menjadi ukuran dalam bersikap dan bertindak. Namun, modernisasi—beserta pengaruh baik buruknya—dapat mengubah norma-norma tersebut sehingga terjadi pembiasan nilai-nilai, dan akhirnya menjadikan norma maupun nilai itu sangat mudah untuk dilanggar. Atas nama modernisasi, banyak kita lihat remaja putri kita tanpa malu-malu mempertontonkan aurat, misalnya sebagaimana dicontohkan oleh film “baywacth”. Walaupun ditayangkan malam hari, toh tak sedikit kalangan remaja sekolah—dari siswa SD sampai SMP—yang bangga menyatakan menjadi pemirsa setianya.

Fase Kepompong
Sekarang ini, hiruk pikuk pendidikan tinggi di Indonesia sesungguhnya masih bergerak dalam fase kepompong. Sementara, negara-negara tetangga terdekat seperti Malaysia, Singapura, atau Australia sudah mencapai fase kupu-kupu yang terbang dengan sayapnya yang begitu indah. Jika melihat kilas balik sejarah pendidikan tingggi di Indonesia, semasa Era Soeharto sebelum krisis ekonomi Indonesia muncul, ketika orang ditanya kenapa milih perguruan tinggi negeri (PTN), pada umumnya publik akan menjawab kualitas PTN lebih bagus dibanding perguruan tinggi swasta (PTS) karena memang biayanya lebih murah. Kenapa bisa lebih murah? Tentu pada waktu itu akan mendapat jawaban pasti bahwa yang namanya negeri otomatis pemerintah ikut campur dalam soal pembiayaan maupun staf pengajar yang terjamin. Sementara untuk kuliah di PTS wajar saja mahal, karena berdiri sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Tetapi kondisi sekarang ini, anggapan di atas justru tidak akan ditemui lagi karena kenyataannya berbalik. Pemerintah secara perlahan-lahan mulai melepaskan diri dalam soal pendidikan tinggi, meski tidak 100 % lepas total. Rencana alokasi dana pendidikan yang dicanangkan hingga 20 % dari total APBN, ternyata lebih difokuskan pada pembinaan dan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah karena memang lebih penting terutama dalam aspek membentuk karakter bangsa ke depan.

Biaya Besar
Bagaimana pun harus diakui, pendidikan tinggi yang bermutu memang membutuhkan biaya besar. Tidak bisa dipungkiri, pada awalnya, banyak universitas top di Australia justru mengandalkan sumber pendapatannya dari kocek mahasiswanya sendiri. Pertanyaannya, seberapa jauh mutu yang dihasilkan dari sebuah universitas yang mahal di Indonesia? Seandainya banyak warga yang mampu kuliah di univeritas mahal, mereka pasti sebagian besar tidak akan kuliah di Indonesia alias lebih memilih sekolah di luar negeri. Problem mutu inilah yang menjadi entitas pendidikan itu sendiri.
Ditilik dari latar belakang pada pasca krisis, seperti diketahui sektor pendidikan sebenarnya merupakan amanah yang pernah ditawarkan IMF dan World Bank kepada Indonesia untuk melakukan reformasi ekonomi. Seiring dengan kuatnya IMF dan lembaga kreditor lainnya pada waktu itu akibat ketergantungan Indonesia akan utang pada saat itu, maka mereka mendesak melaksanakan program liberalisasi ekonomi. Masih segar dalam ingatan, program liberalisasi dalam bentuk LoI (Letter of Intent) adalah perjanjian antara Indonesia dan IMF untuk mendapat kucuran utang baru dengan syarat mencabut subsidi pada sektor publik seperti listrik, BBM, air, kesehatan dan pendidikan. Pada intinya, LoI memiliki empat aspek, yaitu pelaksanaan anggaran ketat dan penghapusan subsidi, liberalisasi keuangan, perdagangan bebas dan privatisasi BUMN. Sama halnya dengan liberalisasi di sektor migas, liberalisasi pada sektor pendidikan juga mengharuskan pemerintah untuk membebaskan masing-masing PTN yang bertujuan agar lebih mandiri.
Ketika akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhasil menggolkan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UUBHP) yang disahkan oleh DPR, muncul anggapan ekstrim bahwa sesungguhnya pemerintah secara total tidak akan mencampuri urusan pendidikan tinggi. Di lain pihak, banyak kalangan menilai jika pemerintah tetap ikut campur terhadap penyediaan sektor publik, maka pemerintah dianggap sebagai biang keladi yang akan mengakibatkan inefisiensi dan ketidakefektifan. Inefisiensi dan ketidakefektifan inilah yang dianggap sebagai troublemaker rendahnya mutu perguruan tinggi di Indonesia. Akhirnya baru-baru ini UU BHP ditolak oleh Mahkamah Konstitusi RI, ternyata menimbulkan kekosongan peraturan pendidikan di Indonesia.
Partisipasi pemerintah dalam memajukan pendidikan tinggi memang harus tetap diikutsertakan. Namun demikian, pemerintah bisa membantu setidaknya menjadi fasilitator, misalnya, lobi dan diplomasi kerjasama dengan pihak-pihak internasional. Saat ini, akibat kondisi ekonomi Indonesia yang masih belum pasti. Lihat saja semakin hari daya beli masyarakat rendah sekali karena harga-harga kebutuhan pokok sangat fluktuatif. Jadi jangan berharap sumber keuangan negara bisa mewujudkan ide kompetensi keilmuan dan kegunaan. Justru sebaliknya, semua PTN (bahkan mungkin seluruh PTS) diuji serta seharusnya juga tertantang untuk membangun citra dan mutu ke arah dua kompetensi itu. Kemandirian PTN-PTS untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi yang bermutu adalah mimpi yang sebetulnya bisa dicapai meski memang membutuhkan komitmen dan upaya keras dari masing-masing PT.

Merealisasikan Mimpi-mimpi Pendidikan Anak Indonesia
Wakil Menteri Pendidikan Nasional ( Wamendiknas ) Prof. dr Fasli Jalal, Ph.D SpGK. Bapak Fasli Jalal membuka diskusi ini dengan peresentasi mengenai keberhasilan pencapaian pendidikan di tingkat SD dan SMP. Beliau memaparkan bahwa tingkat presentase anak Indonesia yang dapat menempuh pendidikan SD sudah sampai pada angka 96% dan ditingkat SMP sudah sampai pada angka 90%. Melihat data Angka Porsentase Kasar ( APK ) ini beliau optimis untuk meningkatkan tingkat porsentase pendidikan tingkat SMP hingga 95 % “ Target ini akan terealisasi dengan program wajib belajar 9 tahun yang terus digalakan “ ujar bapak Fasli Jalal yang juga merangkap sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.
Mengenai permasalahan program beasiswa dan bantuan pendidikan, bapak Fasli Jalal mengungkapkan bahwa pemerintah telah menyiapkan banyak program yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. “ Untuk SD dan SMP kami memiliki program Bantuan Operasional Sekolah ( BOS ) yang dananya kami langsung diberikan ke pihak sekolah sehingga tidak lagi melewati birokrasi, sedangkan untuk menengah atas kami memiliki program yang bernama Biaya Operasional Meningkatkan Mutu ( BOMM ) yang ditujukan kepada 600 ribu siswa SMA atau SMK di seluruh Indonesia” lanjut bapak Fasli Jalal. Pada jenjang perguruan tinggi, Bapak Fasli Jalal mengungkapkan bahwa Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi ( Dikti ) telah menyiapkan program Beasiswa Pendidikan Bagi Calon Mahasiswa Berprestasi dari Keluarga Kurang Mampu ( Bidik Misi ).
Program ini bertujuan untuk meneruskan program-program pendidikan sebelumnya seperti BOS dan BOMM, sehingga proses pendidikan tidak akan terputus dan terus mengalami pendidikan yang keberlanjutan. Bidik Misi ini direncanakan akan terus menambahkan jumlah penerimanya pada setiap tahun. Bapak Fasli Jalal berharap apabila seluruh program ini terus berjalan maka tidak akan ada lagi anak-anak Indonesia yang berhenti bermimpi untuk memperoleh kesempatan mendapatkan pendidikan hingga jenjang tertinggi, ” Mereka adalah aset kita sebagai bangsa, mereka juga lah yang akan mengangkat keluarga mereka dari jurang kemiskinan, karena kemiskinan adalah sebuah warisan yang hanya bisa diputus dengan mutu pendidikan ” ucap bapak Fasli Jalal dengan penuh harap.

Alternatif Solusi
Pertama, solusi alternatif adalah pemberdayaan resource dan peran ikatan alumni masing-masing PTN-PTS. Banyak ikatan-ikatan alumni di tanah air cenderung tidak peduli terhadap almamaternya, bahkan pasif sama sekali. Padahal, di Amerika Serikat saja hampir semua ikatan alumni sangat aktif dan ikut menyumbang rata-rata 30 % terhadap sumber pendapatan tahunan univeritas. Ikatan alumni di sana bangga sekali apabila almamaternya menjadi sumber inspirasi, kritisi, atau literasi di tingkat nasional maupun internasional. Kompetisi antar universitas yang tinggi juga menjadi pemicu utama bagaimana ikatan-ikatan alumni di AS bersemangat untuk ikut berperan aktif membangun kompetensi keilmuan dan kegunaan sebagai aspek nyata kemandirian pendidikan tinggi. Maka tidak heran, 20 dari 50 peringkat universitas top dunia untuk katagori umum berada di Amerika Serikat.


Fakta tersebut jangan membuat kita berkecil hati. Pendidikan tinggi Indonesia harus terus dibenahi sebaik mungkin. Biarlah masing-masing PTN-PTS diberi tanggung jawab untuk lebih berupaya keras membangun dua kompetensi dasar tadi dengan cara dan ciri khas tersendiri. Seperti yang pernah disampaikan mantan Rektor University of Tokyo, Shigehiko Husumi PhD, bahwa kualitas pendidikan dan riset pada hakekatnya tidak dapat dibandingkan antara universitas yang satu dengan universitas yang lain. Seperti juga karakteristik seseorang adalah sangat sulit untuk dikuantifikasi. Maknanya, tidak ada istilah terlambat dalam membangun karakter pendidikan tinggi yang berkompetensi selain bekerja keras dan lebih keras mengejar.
Selain itu, Pemerintah merencanakan anggaran pendidikan dalam APBN 2010 mencapai Rp195,6 triliun. Pagu indikatif anggaran 2010 tersebut terdiri atas komponen anggaran pendidikan melalui pemerintah pusat Rp82,5 triliun dan transfer ke daerah sebanyak Rp113,1 triliun, kata Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, di Jakarta, Rabu (24/6). Menurut Mendiknas, dari rencana anggaran pendidikan tersebut sekitar 54 persen lebih atau sekitar Rp113,109 triliun diperuntukkan pendukung program wajib belajar sembilan tahun secara gratis. "Rencana anggaran pendidikan 2010 itu mengalami penyusutan dibanding 2009 sebanyak Rp207,4 triliun," katanya. Dana anggaran melalui transfer daerah, antara lain terbesar dana alokasi umum (DAU) pendidikan untuk membayar gaji guru mencapai Rp93,31 triliun, dana alokasi khusus Rp9,33 triliun, dan dana bagi hasil (DBH) mencapai Rp423,2 miliar. Anggaran tambahan DAU dan dana otonomi khusus pendidikan masing-masing sebesar Rp7,94 triliun dan Rp2,1 triliun. Dana untuk Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mencapai 57,5 triliun dan Departemen Agama Rp22 triliun.
Solusi Kedua, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Mohammad Nuh, Jumat (4/06) di Wisma Arga Mulya, Bogor, Jawa Barat, menyosialisasikan rencana strategis (renstra) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) 2010 - 2014 di hadapan anggota Komisi X DPR RI. Dalam kesempatan tersebut, Mendiknas memaparkan lima paradigma dalam bidang pendidikan yang coba digeser ke arah yang lebih baik sehingga pendidikan dapat dijangkau semua warga negara. "Paradigma wajib belajar sembilan tahun digeser menjadi hak belajar sembilan tahun yang menjamin kepastian bagi semua warga negara untuk memperoleh pendidikan minimal sampai lulus SMP. Dengan pergeseran paradigma tersebut, konsekuensi pemerintah tentunya wajib menyediakan sarana prasarana dan pendanaan demi terselenggaranya pendidikan bagi seluruh warga negara," kata Nuh mengawali pemaparannya.

Pergeseran paradigma lain yang dikemukakan Nuh adalah kesetaraan dalam pendidikan. Ia menilai bahwa di antara masyarakat Indonesia yang bersifat umum, ada sejumlah siswa yang memerlukan perhatian sangat khusus dengan layanan yang khusus pula. "Kekhususannya itu bisa jadi karena masalah yang sifatnya fisik, geografis, atau sosial," ujarnya. Mendiknas RI juga menekankan pentingnya pendidikan komprehensif yang mengintegrasikan ilmu pengetahuan, budi pekerti, kreativitas, dan inovasi menjadi satu kesatuan utuh. Menurutnya, pendidikan karakter tersebut perlu ditanamkan sejak usia dini hingga pendidikan di perguruan tinggi.
Solusi ketiga, benang merah dari permasalahan yang disajikan di atas, bila kita runtut, tentulah dapat mulai dibenahi dari lingkup terkecil. Tidak hanya dalam lingkup masyarakat dalam arti negara, tetapi bisa dimulai dari keluarga. Keluarga merupakan satuan unit terkecil masyarakat, satu keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Nah, penanaman nilai-nilai perilaku dan sikap berbudi luhur dalam bertutur dan bertindak hendaknya dapat dengan mudah ditanamkan dari orang tua kepada anak, khususnya di saat anak menginjak usia dini. Ibarat sebuah sponge kering yang haus akan air, begitu bertemu air maka ia akan menyerap habis air tanpa sisa. Itulah pendidikan yang umumnya mereka peroleh di sekolah-sekolah formal.
Namun sebenarnya, kedekatan mereka dengan keluarga lah yang lebih dominan dalam memberi warna kehidupan mereka, melalui pola pengembangan perilaku dalam kehidupan keseharian di lingkungan keluarga. Ayah dan ibu merupakan pola panutan bagi anak. Ayah-ibu sangat mudah dilihat dan ditiru perbuatan, sikap, serta tutur katanya. Bila antara ayah dan ibu menunjukan sikap dan perilaku baik, insya Allah begitu pula lah anak akan berbuat kepada siapa pun. Tanpa pandang bulu karena demikianlah ia akan menyerap pola perilaku orang tuanya.
Dalam mengembangkan sikap dan perilaku anak, saya pernah membaca sebuah literatur pendidikan anak usia prasekolah, yang mengatakan bahwa usahakanlah para orang tua untuk tidak mengatakan “jangan” pada anak. Karena, anak akan cenderung mencoba hal-hal yang dilarang atau bahkan memberontak pada saat-saat tertentu, yang mana tekanan/larangan terhadap suatu hal itu sering dilontarkan. Untuk menggantikan kata-kata berkesan negatif tersebut, usahakan menyampaikan hal-hal tidak baik dengan kata-kata positif. Misalnya, “Sebaiknya kamu lakukan…”, “Alangkah baik bila kamu berbuat…”, dan lain-lain. Karena, kata-kata positif tersebut diyakini akan direspon positif juga oleh otak anak. Dan, tentunya itu akan lebih mudah dikerjakan atau dipatuhi oleh anak daripada kata-kata negatif.

Meminjam istilah Dr. Ibrahim El Fikri dalam bukunya Terapi Berpikir Positif, otak manusia sangat sarat menyimpan hal-hal yang ditemuinya selama ia menjalani kehidupannya. Pengalaman belajar pertama manusia tentu akan dimulai sejak ia bayi, terlahir ke dunia, yang mana pengalaman-pengalaman hidup tersebut akan disimpan dalam bentuk “file” dalam otak anak. Ada file marah, sedih, sepi, bahagia, bangga, curiga, dan sebagainya. Saat suatu situasi ditemui, otomatis otaknya akan memanggil file tersebut yang kemudian akan dicerminkan dalam suatu perbuatan, sikap, dan perkataan. Demikianlah cara anak belajar dari lingkungannya. Bila kita membaca sejarah, mengapa Singapura bisa maju, menjadi negara industri dan macan Asia yang disegani seperti saat ini? Tentulah itu bukan merupakan mimpi yang terwujud dalam satu malam. Itu dicapai melalui perombakan total dalam kehidupan beberapa generasi sebelumnya. Dan, mereka memulai perombakan total seperti memotong beberapa generasi sebelumnya.
Tidak ada salahnya kita memulai pembenahan melalui pendidikan pada taraf anak-anak usia prasekolah. Sejak usia dini, di Taman Kanak-kanak, hendaknya mereka sudah mulai diajarkan berlaku disiplin, teratur dalam antrian, membuang sampah pada tempatnya, dan dilarang mengambil yang bukan haknya. Tidak hanya pendidikan yang mengembangkan motorik kasarnya, namun lebih kepada bagaimana cara mereka bersikap dan berperilaku sesuai yang diharapkan. Juga tentang bagaimana cara mereka mengelola kecerdasan emosinya. Misalnya, tentang bagaimana menyampaikan pendapat, menyampaikan keinginan dan harapan secara santun, sehingga diharapkan tidak ada lagi kekerasan atau anarkisme dalam generasi muda kita. Bila kita tanamkan hal ini sejak dini, bukan mustahil kita akan melihat generasi muda Indonesia di masa datang tidak ada lagi gemar perkelahian. Bahkan, mungkin tidak ada lagi stempel sebagai negara terkorup peringkat satu di dunia (versi majalah Times, 2007). Indonesia bisa tampil bebenah diri sehingga menjadikannya The Giant Country in Asia yang patut disegani.
Solusi keempat, kewenangan pengelolaan sekolah-sekolah berlabel rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) diserahkan kepada pemerintah provinsi. Kebijakan ini menggunakan payung hukum Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007. Peraturan Pemerintah tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Adapun kewenangan pengelolaan sekolah non-RSBI dari tingkat SD hingga SMA tetap berada di tangan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Demikian dikemukakan Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal, Kamis (10/6/2010) di Jakarta. ”Dengan PP Nomor 38 itu, semakin jelas peran provinsi yang akan melakukan pengawasan dan antisipasi penyimpangan, memastikan transparansi, dan perencanaan yang lebih jelas soal RSBI. Supaya tidak ada lagi keraguan provinsi, kami meminta pengertian dari semua kabupaten/kota,” kata Fasli. Pengalihan tanggung jawab dan wewenang dari kabupaten/kota ke provinsi ini, kata Fasli, dilakukan agar provinsi bisa ikut memberikan bantuan pendanaan yang besar kepada RSBI. Meskipun demikian, kabupaten/kota tetap bisa ikut memberikan bantuan anggaran pada RSBI. ”Payung hukumnya sudah berlapis. Yang penting sekarang, bagaimana implementasinya di setiap sekolah. Kami berharap pengelolaan RSBI bisa dilakukan lebih baik oleh provinsi,” kata Fasli. Fasli berharap, dengan PP 38 Tahun 2007 itu pemerintah provinsi bisa memulai proses transisi kewenangan pengelolaan RSBI dari pemerintah kabupaten/kota ke provinsi. ”Saat ini sudah mulai ada pembicaraan antara provinsi dan kabupaten/kota bagaimana melakukan transformasi itu,” ujarnya.
Merek dagang
Praktisi pendidikan Arief Rachman mengingatkan untuk tidak menjadikan RSBI sebagai sarana menjual dan memopulerkan sekolah dan harus betul-betul konsisten dengan standar internasional. RSBI juga harus bisa menjamin keadilan sehingga tidak terjadi kesenjangan di antara sekolah standar biasa dan standar internasional. ”Dari dulu kita punya sekolah unggulan, kelas akselerasi, sekarang RSBI. Ini semua tidak boleh menghilangkan asas keadilan”. Pelayanannya tidak boleh memberi kesan diskriminasi. Idealnya memang semua sekolah mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi semua variasi kecerdasan intelektual, emosional, dan sosial. Ini yang seharusnya jadi fokus pemerintah,” kata Arief.
Solusi kelima, Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Suyanto menyatakan, seni dan kesenian yang ada pada setiap suku bangsa di Indonesia merupakan sumber inspirasi bagi siswa untuk berkreasi dan berinovasi. Karena itu, Kementerian Pendidikan Nasional mendorong kepada para siswa untuk meluangkan waktu memahami berbagai bentuk seni tersebut. Suyanto mengatakan, bakat seni perlu dipupuk sejak dini agar seni dapat menjadi bagian dari kehidupan para siswa. Dalam dunia pendidikan, prestasi seni sama pentingnya dengan prestasi akademis dari bidang lainnya. Para siswa yang mempunyai minat dan bakat di bidang seni perlu diberikan arena dari tingkat sekolah sampai dengan nasional. "Penyelenggaraan lomba dan festival dapat dijadikan sebagai arena unjuk keterampilan, " katanya ketika membuka Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) 2010 di Surabaya, Jawa Timur Selasa (15/6). Suyanto mengemukakan, pemerintah pusat dan daerah bersama-sama memikirkan cara untuk memberikan penghargaan kepada para siswa yang berprestasi di bidang seni. Cara pemberian penghargaan tidak saja dalam bentuk beasiswa, tetapi juga menjamin kepastian mereka untuk melanjutkan pendidikan sampai jenjang tertinggi. "Kurikulum dari jenjang pendidikan dasar sampai tinggi diselaraskan untuk memfasilitasi para siswa yang ingin menekuni bidang seni," katanya. Adapun Anggota Komisi X DPR Dedi Gumelar menambahkan, kesenian bukan hanya industri dan profesi, tetapi sebagai alat untuk menghaluskan budi seseorang. Dengan budi seseorang yang halus, maka jiwa akan sehat dan karakter bangsa akan terbentuk menjadi bangsa yang jaya dan memiliki daya saing internasional. "Kami tidak segan-segan mendorong anggaran untuk seni dan kebudayaan," katanya.
Solusi Keenam, kemudian sifat-sifat Pendidik Sukses dalam Pengarahan Nabi saw. Ustadz Muhammad Ibnu Abdul Hafizh Suwaid mencatat beberapa sifat pendidik sukses sebagai berikut : (1.) Penyabar dan tidak pemarah, karena dua sifat ini dicintai Allah swt. (h.r. Muslim dari Ibnu ’Abbas) ; (2.) Lemah lembut (rifq) dan menghindari kekerasan. Allah itu Maha Lemah Lembut, cinta kelemahlembutan. Diberikan kepada kelembutan apa yang tidak diberikan kepada kekerasan dan kepada selainnya (h.r. Muslim dari ’Aisyah). Tidaklah kelemahlembutan itu terdapat pada sesuatu melainkan akan membuatnya indah, dan ketiadaannya dari sesuatu akan menyebabkannya menjadi buruk. (h.r. Muslim). (3.) Hatinya penuh rasa kasih sayang, Sesungguhnya setiap pohon itu berbuah. Buah hati adalah anak. Allah tidak akan menyayangi orang yang tidak sayang kepada anaknya. Demi Dzat yang jiwaku di Tangan-Nya, tidak akan masuk surga kecuali orang yang bersifat penyayang. (h.r. Ibnu Bazzar dari Ibnu ’Umar).
Kemudian (4.) Memilih yang termudah di antara dua perkara selama tidak berdosa Tidaklah dihadapkan kepada Rasulullah antara dua perkara melainkan akan dipilihnya perkara yang paling mudah selama hal itu tidak berdosa. (Mutafaq ‘alaih). (5.) Fleksibel (layyin), Bukanlah fleksibilitas yang berarti lemah dan kendor sama sekali, melainkan sikap fleksibel dan mudah yang tetap berada di dalam koridor syariah. Neraka itu diharamkan terhadap orang yang dekat, sederhana, fleksibel (lembut) dan mudah –qariib, hayyin, layyin, sahlin- (h.r. Al Kharaiti, Ahmad dan Thabrani). (6.) Ada senjang waktu dalam memberi nasihat, Ibnu Mas’ud hanya memberi nasihat kepada para sahabat setiap hari Kamis. Maka ada seorang yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdur Rahman, alangkah baiknya jika Anda memberi nasihat kepada kami setiap hari.” Beliau menjawab, “Saya enggan begitu karena saya tidak ingin membuat kalian bosan dan saya memberi senjang waktu dalam memberikan nasihat sebagaimana Rasulullah lakukan terhadap kami dahulu, karena khawatir kami bosan.” (Muttafaq ‘alaih).
Dasar dari sifat-sifat mulia di atas adalah keshalihan orang tua. Keshalihan orang tua ini akan memiliki pengaruh positif terhadap anak-anak. Firman Allah, “Dan orang-orang yang beriman, Kami akan pertemukan keturunan mereka dengan mereka. Dan Kami sedikitpun tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.” [QS ath-Thur, 52:21]. Mengomentari ayat ini, Ibnu ‘Abbas berkata, “Allah akan mengangkat derajat keturunan manusia bersama orang tuanya di Surga nanti walaupun kedudukannya tidak setinggi orang tuanya.” Beberapa peneliti mencatat bahwa keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak di sekolah berpengaruh positif pada hal-hal berikut : membantu penumbuhan rasa percaya diri dan penghargaan pada diri sendiri, meningkatkan capaian prestasi akademik, meningkatkan hubungan orang tua-anak, membantu orang tua bersikap positif terhadap sekolah dan menjadikan orang tua memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap proses pembelajaran di sekolah

DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.dikti.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1106:merealisasikan-mimpi-mimpi-pendidikan-anak-indonesia-&catid=143:berita-harian
2. http://www.forumsains.com/pendidikan/kemajuan-pendidikan-tinggi-indonesia-sebuah-mimpi/
3. http://www.andaluarbiasa.com/pendidikan-usia-dini-dan-mimpi-kejayaan-indonesia
4. http://www.mediaindonesia.com/read/2009/06/06/81875/88/14/Anggaran-Pendidikan-APBN-2010-Rp1956-Triliun
5. http://jardiknas.depdiknas.go.id/index.php/berita/974-hak-belajar-akan-gantikan-wajib-belajar.html
6. Involving Parents in the Education of Their Children, tulisan Patricia Clark Brown padahttp://www.kidsource.com/kidsource/content2/Involving_parents.html
7. Untuk lebih detil silakan membaca buku tulisan Ustadz Muhammad Ibnu Abdul Hafizh Suwaid berjudul ”Cara Nabi Mendidik Anak”, bab Cara-cara Nabi Mendidik Anak, hal 91-104, Penerbit Al-I’tishom Cahaya Umat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar