Jumat, 18 Februari 2011

Wartawan Sebagai Pengawas Pelayanan Publik (Memaknai Hari Pers, 9 Februari 2011)

Oleh : Satriya Nugraha, SP
Pemerhati dan Penulis Buku “Mewujudkan Pelayanan Publik
Prima : Bukan Mimpi”
Mantan Presiden BEM FP UB 2000-2002

Sudah menjadi pandangan umum, pers sebagai salah satu pilar demokrasi dan mengawasi perjalanan pembangunan bangsa Indonesia. Terlepas dari pro dan kontra, pers menjadi jendela wawasan dunia bagi masyarakat Indonesia selama ini. Setelah reformasi tahun 1998, begitu banyak bermunculan industri pers yang sebagian ijin tidak resmi dan sebagian memiliki ijin resmi. Keberadaan pers tersebut mengurangi pengangguran di Indonesia, banyak rekrutmen posisi wartawan untuk menjalankan organisasi industri tersebut. Wartawan sebaiknya belajar rendah hati, menambah wawasan dengan membaca buku untuk dapat meningkatkan kemampuan soft skill dan kompetensi mereka sendiri.

Fakta sekarang, masyarakat yang semakin cerdas media, menuntut wartawan bekerja secara profesional dan tidak memihak dalam mengawasi pelayanan publik birokrasi pemerintahan. Masyarakat juga perlu dilindungi kebebasan meliput berita, jangan sampai wartawan mengalami aksi kekerasan ketika meliput berita. Sudah banyak berita, sebagian wartawan meninggal dunia akibat memberitakan pelanggaran dan maladministrasi birokrasi pelayanan publik, misalnya meninggalnya wartawan di Bali, Papua, Yogya dan sebagainya. Padahal mereka sebagai pengawas pelayanan publik dan menginformasikan keterbukaan informasi publik yang didapat dari birokrasi pemerintahan untuk disampaikan kepada masyarakat.

Hal inilah yang menjadi perhatian kita bersama, bahwa wartawan bisa bekerja dengan baik dalam melakukan fungsi pengawasan pelayanan publik. Pemerintah, TNI, kelompok organisasi masyarakat perlu bahu membahu dan kebersamaan menjaga dan melindungi kebebasan wartawan yang melakukan peliputan berita asalkan bertanggung jawab dan sesuai koridor UU 41/1999 tentang Pers. Misalnya wartawan Surya meliput kejadian pro dan kontra pembangunan Rumah Sakit Akademik UB, pro dan kontra pembangunan pasar tradisional Dinoyo dan Blimbing Kota Malang, meliput lambatnya penyaluran kredit usaha rakyat di Kota Malang. Yang bisa jadi wartawan mengalami tindakan kekerasan dalam peliputan berita tersebut. Karena berkaitan dengan kebijakan publik pemerintah daerah dan dukungan mengalir dari masyarakat.

Tugas, pokok dan fungsi wartawan sudah diakomodir dalam UU 25/2009 tentang pelayanan publik. Pada pasal 35 ayat (3) menyebutkan bahwa “pengawasan eksternal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui: a. pengawasan oleh masyarakat berupa laporan atau pengaduan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik”. Pasal inilah menjadi landasan hukum wartawan sebagai sebagai bagian dari masyarakat yang melakukan fungsi sebagai pengawas pelayanan publik birokrasi pemerintahan baik tingkat pusat, provinsi, kabupaten / kota di Indonesia. Pasal ini menjadi pedoman bagi wartawan selama masih dalam koridor kode etik jurnalistik yang dikeluarkan resmi oleh Dewan Pers agar wartawan menjadi subyek dalam menegakkan pilar demokrasi di Indonesia menuju masyarakat madani.

Berdasarkan pemikiran di atas, maka oknum wartawan yang tidak berkompeten, oknum wartawan yang suka memeras istilahnya wartawan bodreks, perlu dihapus perlahan-lahan oleh masyarakat wartawan sendiri. Industri pers perlu perlahan-lahan meningkatkan kesejahteraan wartawan sendiri sehingga kinerja wartawan semakin profesional dan tulus bekerja sebagai salah satu pengawas pelayanan publik dari tahun ke tahun. Bisa dalam bentuk reward and punishment. Wartawan yang bekerja dan berprestasi diberikan bonus misal rekreasi akhir tahun, cuti bersama, insentif honor dan sebagainya. Pemberian reward ini menjadi bagian program Corporate Social Responsbility dari industri pers sendiri.

Mari kita mendukung kinerja wartawan yang tulus ikhlas mengabdi kepada masyarakat, dengan menginformasikan kinerja birokrasi pemerintahan yang diharuskan menjalankan UU 14/2008 tentang keterbukaan informasi publik, UU 25/2009 tentang pelayanan publik dan sebagainya. Jayalah terus pers Indonesia yang turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini sebagai amanah dari Pembukaan UUD 1945. Jayalah terus wartawan Indonesia yang profesional, kompetensi, adil dan bermartabat. Selamat Hari Pers, 9 Februari 2011. Amin.

Menanti Realisasi CSR

Oleh : Satriya Nugraha, SP
Pemerhati dan Penulis Buku “Mewujudkan Pelayanan Prima
Berkelas Dunia : Bukan Mimpi”
Mantan Presiden BEM FP UB 2000-2002

Pembangunan Nasional pada hakekatnya pembangunan bangsa Indonesia seutuhnya dimana seluruh lapisan masyarakat berhak untuk mendapatkan pelayanan dan kesempatan melaksanakan peranannya dalam proses pembangunan. Hal ini menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat termasuk dunia usaha sebagai elemen masyarakat yang berpotensi sebagai sumber kesejahteraan sosial. Sebagai amanat UU Nomor 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial.
Dengan demikian, konteks tanggung jawab (corporate social responsibility) merupakan bagian tidak terpisahkan dengan modal perusahaan atau social capital bagi dunia usaha. Karena didalamnya mengandung “investasi” dan social cost. Artinya jika tidak melakukan akan menimbulkan resiko sosial yang pada akhirnya mengganggu investasinya. Hal ini sesuai amanat UU Nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas. Kenyataan inilah diharapkan dunia usaha semakin menyadari bahwa perusahaan tidak lagi dihadapkan mencari keuntungan saja, namun juga harus memperhatikan aspek sosial dan lingkungannya.

Di Jawa Timur, banyak perusahaan enggan melaksanakan program CSR dengan argumentasi sudah membayar pajak dan retribusi. Ada juga perusahaan yang melaksanakan program CSR sekedar basa-basi dan cenderung karena keterpaksaan untuk merealisasi program CSR. Namun ada juga perusahaan yang berupaya memenuhi kewajiban tanggung jawab CSR. Yang lebih menarik, ada perusahaan yang bukan lagi sekedar compliance tetapi beyond compliance / compliance plus. Padahal perusahaan Multi National Corporation yang dikelola warga Negara luar negeri sudah menjalan program CSR sejak abad 18-an. Perusahaan asing memberikan donasi kepada NGO untuk program vaksinasi kesehatan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka saya bertemu dengan salah satu Anggota DPRD Jatim bulan Januari 2011. Beliau mendukung dan sudah masuk dalam Program Legislasi DPRD Jatim tahun 2011 yaitu Raperda Jatim tentang pelaksanaan CSR di Jawa Timur pada tahun 2011. Tujuan penyusunan Raperda ini untuk memberikan payung hukum peranan penting CSR dalam upaya memberdayakan masyarakat Jawa Timur khususnya menghapus masyarakat miskin, pengangguran, PMKS dan korban bencana alam.

Perekonomian Jawa Timur kalau ditinjau dari indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sesuai tolok ukur Bank Dunia dan UNDP ternyata semakin membaik dalam 5 tahun terakhir ini, yakni 68,42 (2005) ; 69,18 (2006) ; 69,78 (2007) ; 70,38 (2008) dan 70,98 (2009). Perbaikan angka IPM dari tahun ke tahun dapat menunjukkan adanya kemajuan yang berarti di bidang ekonomi, pendidikan kesehatan dan sarana serta prasarana masyarakat. Namun dibalik itu semua, tidak dapat dipungkiri kalau ada 3.079.822 rumah tangga miskin (RTM) atau 9.049.461 orang miskin (16,68%) ; selanjutnya terdapat 1,033 juta orang yang menganggur, dan kesenjangan antar wilayah sebagaimana tampak pada indikator indeks disparitas wilayah sebesar 116,02 (2009).

Berdasarkan fakta tersebut di atas maka Raperda Jatim tentang pelaksanaan CSR di Jawa Timur perlu mendapatkan perhatian khusus dan peran serta masyarakat untuk ikut mengawalnya sampai disahkan dalam Sidang Paripurna DPRD Jatim tahun 2011. Raperda ini sebaiknya menjalankan amanat UU 11/2009 tentang kesejahteraan sosial, UU 40/2007 tentang perseroan terbatas, UU 20/2008 tentang usaha mikro, kecil dan menengah; UU 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, UU 36/2009 tentang kesehatan dan UU 40/2009 tentang kepemudaan yang diharapkan berjalan saling sinergis.

Pengesahan Raperda ini dimaksudkan sebagai kanalisasi program CSR di Jawa Timur dalam upaya mengoptimalkan dan mempercepat terwujudnya keberhasilan penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Khususnya menyangkut bantuan dana pembinaan olahraga dan kepemudaan, pengurangan masalah pendidikan (berupa beasiswa dan bantuan riset penelitian), pengurangan masalah kesehatan berupa jamkesda, bantuan peralatan kedokteran, bantuan dana magang mahasiswa tenaga kesehatan (dokter, bidan, perawat, gizi), pengurangan masalah kemiskinan.

Kemudian CSR juga bisa disalurkan dalam hal pelestarian water catchment area (pelestarian hutan dan air), pemberian bantuan modal UKM Mikro, bantuan modal petani, peternak nelayan dan wirausaha muda serta pengurangan jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang tersebar di 38 kabupaten / kota, seperti : (1) anak balita terlantar, (2) anak terlantar, (3) lanjut usia terlantar, (4) anak jalanan, (5) anak cacat, (6) anak nakal, (7) pengemis dan gelandangan, (8) korban penyalahgunaan NAPZA, (9) tuna susila, (10) keluarga fakir miskin dan (11) korban bencana alam.

Keuntungan atau kemanfaatan melaksanakan program dan kegiatan CSR bagi badan usaha di Jawa Timur, yaitu (a) dapat meningkatkan performa keuangan perusahaan, (b) dapat meminimalisir biaya operasional perusahaan, (c) dapat meningkatkan citra / image dan reputasi perusahaan, (d) dapat meningkatkan penjualan dan loyalitas konsumen, (e) dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas, (f) dapat meningkatkan kemampuan untuk menarik dan mempertahankan buruh perusahaan, (g) dapat mengurangi pengawasan pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta (h) dapat meningkatkan akses modal perusahaan. Amin.

Realisasi CSR Budaya dan Pariwisata

Oleh : Satriya Nugraha, SP
Pemerhati dan Penulis Buku “Mewujudkan Pelayanan Prima
Berkelas Dunia : Bukan Mimpi”
Mantan Presiden BEM FP UB 2000-2002

Tuhan Yang Maha Esa telah menganugerahi bangsa Indonesia kekayaan yang tidak ternilai harganya. Kekayaan berupa letak geografis yang strategis, keanekaragaman bahasa dan suku bangsa, keadaan alam, flora, dan fauna, peninggalan purbakala, serta peninggalan sejarah, seni, dan budaya merupakan sumber daya dan modal untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia sebagaimana terkandung dalam Pancasila dan dicita-citakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

Kekayaan tersebut di atas sebagian dikelola oleh perusahaan dalam bentuk obyek wisata alami misalnya arung jeram, wisata danau, wisata outbound, wisata gunung ; dan / atau obyek wisata buatan. Kemudian juga ada pelaku budaya pariwisata yang membangun hotel dan restoran, resto, café untuk sarana hiburan, relaksasi dan tempat pertemuan bagi masyarakat maupun untuk akomodasi wisatawan baik domestik maupun luar negeri.

Pelaku usaha di bidang budaya dan pariwisata dalam melakukan usahanya tidak hanya memiliki kewajiban yang bersifat ekonomis dan legal, namun juga kewajiban yang bersifat etis. Etika bisnis merupakan tuntunan perilaku bagi dunia usaha budaya dan pariwisata untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan. Implementasi etika bisnis terwujud dalam program corporate social responsibility (CSR).

Pada dasarnya kegiatan corporate social responbility sangat beragam dan bergantung pada proses interaksi sosial, bersifat sukarela yang didasarkan pada dorongan moral dan etika. Biasanya melebihi dari hanya sekedar kewajiban memenuhi peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, di dalam praktek, penerapan CSR selalu disesuaikan dengan kemampuan masing-masing perusahaan dan kebutuhan masyarakat. Idealnya, pelaku usaha budaya dan pariwisata melakukan serangkaian proses sejak design atau perencanaan program, implementasi program, monitoring program, evaluasi program hingga membuat pelaporan atau reporting program CSR.

Kepedulian pelaku usaha budaya dan pariwisata, hotel, restoran, resto – café, kepada masyarakat sekitar / relasi komunitas dapat diartikan sangat luas, namun secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi dan posisi organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya kemaslahatan bersama bagi organisasi dan komunitas budaya dan pariwisata. Kesadaran tentang pentingnya mempraktekkan CSR ini menjadi trend global seiring dengan semakin maraknya kepedulian mengutamakan stakeholder. CSR ini selain wujud penerapan prinsip good corporate governance juga terkait untuk mendukung pencapaian tujuan Millenium Development Goals, salah satunya diantaranya pengurangan angka kemiskinan tiap tahun.

Prinsip dasar pelaku usaha budaya dan pariwisata dalam penerapan CSR adalah triple bottom line, dimana 3 unsur penting saling terkait erat, yaitu : (1) profit : pelaku usaha budaya dan pariwisata tidak lepas dari orientasi utamanya untuk mencari keuntungan, (2) people : pelaku usaha budaya dan pariwisata memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat (pendidikan, kesehatan, bantuan permodalan dan perlindungan sosial), (3) planet : pelaku usaha budaya dan pariwisata memiliki kepedulian terhadap keberlangsungan lingkungan hidup dan keberagaman hayati.

Pada umumnya, implementasi CSR oleh pelaku usaha budaya dan pariwisata dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, terkait dengan komitmen pimpinannnya. Kedua, menyangkut ukuran dan kematangan perusahaan. Pelaku usaha budaya dan pariwisata yang besar dan mapan lebih memiliki potensi dalam memberikan kontribusi daripada pelaku usaha kecil dan belum mapan. Ketiga, regulasi dan sistem perpajakan yang diatur pemerintah.

Semakin amburadulnya regulasi dan penataan pajak akan membuat semakin kecil ketertarikan perusahaan untuk memberikan donasi dan sumbangan sosial kepada masyarakat. Sebaliknya, semakin kondusifnya regulasi atau semakin besarnya insentif pajak yang diberikan, akan lebih berpotensi memberi semangat kepada perusahaan untuk berkontribusi kepada masyarakat. Setidaknya ada tiga alasan penting mengapa kalangan pelaku usaha budaya dan pariwisata sebaiknya merespon dan mengembangkan isu CSR sejalan dengan operasi usahanya, yaitu :

Pertama, pelaku usaha budaya dan pariwisata adalah bagian dari masyarakat dan oleh karenanya wajar bila perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat. Pelaku usaha sebaiknya menyadari bahwa mereka beroperasi dalam suatu tatanan lingkungan masyarakat. Kegiatan sosial ini berfungsi sebagai kompensasi atau upaya timbal balik atas penguasaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi oleh perusahaan yang terkadang bersifat ekspansif dan eksploratif, di samping sebagai kompensasi sosial karena timbulnya ketidaknyamanan (discomfort) kepada masyarakat.

Kedua, kalangan bisnis budaya dan pariwisata serta masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme. Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, setidaknya license to operate, wajar bila pelaku usaha juga diharapkan untuk memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, sehingga bisa tercipta harmonisasi hubungan bahkan pendongkrakan citra dan performa perusahaan. Ketiga, kegiatan tanggung jawab sosial merupakan salah satu cara untuk meredam atau bahkan menghindari konfilik sosial. Potenis konflik itu bisa berasal akibat dampak operasional pelaku usaha budaya dan pariwisata ataupun akibat kesenjangan struktural dan ekonomis yang timbul antara masyarakat dengan komponen pelaku usaha budaya dan pariwisata.

Cara pelaku usaha / bisnis memandang CSR bisa diklasifikasikan dalam 3 (tiga) kategori, yaitu : Pertama, sekedar basa-basi dan keterpaksaan. Artinya CSR dipraktekkan lebih karena faktor eksternal (external driven). Misalnya karena reputation driven, motivasi pelaksanaan CSR adalah untuk mendongkrak citra perusahaan. Yang masih hangat dalam ingatan kita adalah saat bencana tsunami Aceh terjadi tahun 2004, korporasi besar dan kecil seperti dikomando untuk berebut memberikan bantuan uang, sembako, medis dan sebagainya. Berikutnya, perusahaan berlomba-lomba menginformasikan kontribusinya melalui media massa, tujuannya bisa ditebak, mengangkat reputasi.
Di satu sisi, hal itu memang menggembirakan terutama dikaitkan dengan kebutuhan riil atas bantuan bencana dan rasa solidaritas kemanusiaan. Namun di sisi lain, fenomena ini menimbulkan tanda tanya terutama dikaitkan dengan komitmen solidaritas kemanusiaan itu sendiri.

Ada pamrihnya, udang di balik batu. Pada fase ini, hampir bisa dipastikan bahwa pelaku usaha / bisnis melakukan CSR merupakan kebijakan bisnis yang hanya bersifat kosmetik. CSR diimplementasikan sebagai upaya dalam konteks ke-PR-an. Pelaku usaha / bisnis melakukannya untuk memenuhi tuntutan dan member citra sebagai korporasi yang tanggap terhadap kepentingan sosial. Jadi, sifatnya hanya tempelan saja yang munculnya pun kadang-kadang. Begitu pun aktivitasnya, masih disikapi sebagai liabilitas daripada asset.

Klasifikasi kedua, upaya untuk memenuhi kewajiban (compliance). CSR diimplementasikan karena memang ada regulasi, hukum dan aturan yang memaksanya, misalnya karena adanya market driven. Kesadaran tentang pentingnya mengimplementasi CSR ini menjadi trend seiring dengan maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial. Misalnya, pengusaha-pengusaha Amerika Serikat sudah semakin keras dengan produk furniture yang datang dari Indonesia. Pasalnya, produk furniture diharuskan menerapkan ecolabelling, suatu tanda bahwa kayunya diambil secara bijaksana dengan memperhatikan lingkungan, yaitu tidak menebang kayu seenaknya tanpa upaya peremajaan.

Selain market driven, driven lain yang sanggup memaksa pelaku usaha untuk mempraktekkan CSR adalah adanya penghargaan-penghargaan (reward) yang diberikan oleh segenap institusi atau lembaga. Misalnya CSR award baik regional maupun global, PADMA (Pandu Daya Masyarakat) Award yang dilaksanakan oleh Depsos RI dan PROPER (Program Peringkat Kinerja Perusahaan) yang dilaksanakan oleh Kementrian Lingkungan Hidup RI. Khusus untuk PROPER, jangan harap pelaku usaha bisa mendapatkan peringkat hijau apalagi emas, apabila praktek CSR-nya payah dan asal-asalan.

Klasifikasi ketiga, CSR diimplementasikan karena memang ada dorongan yang tulus dari dalam (internal driven). Pelaku usaha telah menyadari bahwa tanggung jawabnya bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit demi kelangsungan bisnisnya, melainkan juga tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dasar pemikirannya, menggantungkan semata-mata pada kesehatan financial tidak akan menjamin perusahaan bisa tumbuh secara berkelanjutan.
Pelaku usaha meyakini bahwa program CSR merupakan investasi demi pertumbuhan dan keberlanjutan (sustainability) usaha. Artinya CSR bukan dilihat sebagai sentra biaya (cost centre) melainkan sebagai sentra laba (profit centre) di masa mendatang. Logikanya sederhana, apabila CSR diabaikan, kemudian terjadi insiden, maka biaya untuk meng-cover resikonya jauh lebih besar daripada nilai yang hendak dihemat dari alokasi anggaran CSR itu sendiri. Belum lagi resiko non-finansialnya yang berpengaruh buruk pada citra korporasi dan kepercayaan masyarakat kepada masyarakat.

Dengan demikian, CSR bukan lagi sebagai sekedar aktifitas tempelan yang kalau terpaksa bisa dikorbankan demi mencapai efisiensi, namun CSR merupakan nyawa korporasi. CSR disikapi secara strategis dengan melakukan alignment antara inisiatif CSR dengan strategi korporasi. Caranya inisiatif CSR dikonsep untuk memperbaiki konteks kompetitif korporasi yang berupa kualitas lingkungan bisnis tempat korporasi beroperasi. Aktifitas CSR berada dalam koridor strategi perusahaan yang diarahkan untuk mencapai bottom line business goal, yaitu mendatangkan keuntungan. Perbaikan konteks ini diyakini akan menjadi sumber keunggulan kompetitif yang sangat powerfull bagi perusahaan.

Pada klasifikasi ketiga ini, implementasi CSR bagi pelaku usaha merupakan langkah-langkah pilihan sendiri, sebagai kebijakan perusahaan. Bukan karena dipaksa oleh aturan dan tekanan masyarakat. Pelaku usaha telah melepaskan motif-motif ke-Public Relation-an saat mempraktekkan CSR. Istilah kerennya, Beyond PR, Beyond Profit, Beyond Compliance. Karena dalam CSR itu ada nuansa mengedukasi dan berkomunikasi dengan masyarakat dalam nuansa kebersamaan.
Jadi semata-mata tulus karena niat berbuat baik saja.

Bahwa kemudian efeknya positif ke arah pembentukan citra, melampaui standar regulasi yang berlaku, mendongkrak nilai saham atau memenangi kompetisi dan memperoleh penghargaan, hal itu sudah seharusnya. Tetapi niat awalnya murni karena korporasi berniat untuk berbuat baik. Dengan demikian, pelaku usaha budaya dan pariwisata bisa memilih ketiga klasifikasi di atas dalam menerapkan CSR sehingga bisa memberikan nilai (value) kepada masyarakat, apakah sesaat ataukah berkelanjutan? Semua itu tergantung keputusan pelaku usaha menerapkan klasifikasi CSR tersebut. Amin.

Tantangan dan Strategi Pertahanan NKRI

Oleh : Satriya Nugraha, SP
Pemerhati dan Penulis Buku “Mewujudkan Pelayanan Prima
Berkelas Dunia : Bukan Mimpi”
Mantan Presiden BEM FP UB 2000-2002

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah lebih dari 17.504 dan luas wilayah daratan mencapai 1.900.000 km2 memiliki sumber daya alam melimpah dan jumlah penduduk berada pada urutan keempat dunia, yaitu 237.556.363 jiwa (BPS, 2010), harus dijaga dan dipertahankan dari setiap ancaman. Atas dasar itulah, diperlukan suatu pertahanan negara yang kuat yang dilaksanakan melalui pembangunan kekuatan pertahanan negara yang kuat. Hal inilah yang melatarbelakangi Kuliah Tamu Dalam Rangka Dies Natalis Universitas Brawijaya ke-48 tanggal 24 Januari 2011, dengan tema “ Kebijakan Umum dan Strategi Pertahanan Negara Republik Indonesia”. Penulis mengikuti Kuliah tamu ini yang mengupas lebih banyak tentang visi dan misi pertahanan negara, RUU Keamanan Nasional, cyber war dan sebagainya. Pembicara utama adalah Mayjen TNI – Puguh Santoso, ST, M.Sc selaku Dirjen Strategi Pertahanan Kementrian Pertahanan RI.

Beliau mengemukakan bahwa fenomena global masih mengetengahkan penguatan nilai-nilai universal yakni demokrasi dan hak asasi manusia. Bersamaan dengan itu isu lingkungan hidup dan dampak pemanasan global memunculkan persoalan serius yang memerlukan respons secara internasional. Pemanasan global telah berdampak terhadap perubahan musim yang tidak menentu yang mengancam kehidupan manusia dalam bentuk ancaman kelaparan, wabah penyakit dan bencana alam yang berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi dan keamanan. peta keamanan global menempatkan terorisme menjadi ancaman global. Penggunaan kekuatan militer oleh suatu negara ke wilayah negara lain mengancam kedaulatan dan kehormatan suatu negara berdaulat. Masalah perbatasan juga merupakan sumber utama potensi konflik antar negara di kawasan Asia Pasifik, termasuk Asia Tenggara.

Tantangan di lingkungan internal Indonesia adalah mengawal NKRI agar tetap utuh dan bersatu. Di sisi lain, ancaman terhadap kedaulatan masih berpotensi terutama yang berbentuk konflik perbatasan, pelanggaran wilayah, gangguan keamanan maritim dan dirgantara, gangguan keamanan di wilayah perbatasan berupa pelintas batas secara illegal, kegiatan penyelundupan senjata dan bahan peledak, masalah separatisme, pengawasan pulau-pulau kecil terluar, ancaman terorisme dalam negeri dan sebagainya.

Dengan demikian, berdasar tantangan tersebut di atas, maka beliau mengemukakan bahwa visi yaitu terwujudnya pertahanan negara yang tangguh dengan misi, menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI serta keselamatan bangsa. Kemudian pada dasarnya, perumusan kebijakan umum pertahanan negara dilaksanakan Menteri Pertahanan Negara, sedangkan proses penetapannya dilaksanakan di tingkat Dewan Keamanan Nasional selaku Penasehat Presiden RI.

Tujuan nasional merupakan kepentingan nasional yang abadi dan menjadi acuan dalam merumuskan tujuan pertahanan negara, yang ditempuh dengan tiga strata pendekatan yaitu pertama, strata mutlak, dilakukan dalam menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara dan keselamatan bangsa Indonesia ; kedua, strata penting, dilakukan dalam menjaga kehidupan demokrasi politik dan ekonomi, keharmonisan hubungan antar suku, agama, ras dan golongan (SARA), penghormatan hak asasi manusia dan pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup dan ketiga, strata pendukung, dilakukan dalam upaya turut memelihara ketertiban dunia.

Untuk mencapai tujuan pertahanan negara tersebut, salah satunya diperlukan input sumberdaya TNI yang bagus dan optimal. Dirjen Strategi Pertahanan Kementrian Pertahanan RI mengharapkan para sarjana PTN UB ikut berperan menjadi anggota TNI ke depan sehingga muncullah Brawijaya muda dan Gajahmada muda dengan SDM unggul dalam menerapkan visi dan misi pertahanan negara. Masyarakat menuntut TNI untuk menjaga dan memelihara stabilitas keamanan nasional tetapi input SDM secara intelektual, moral dan mental lemah akan sangat kesulitan mewujudkannya.

Kita kesulitan merekrut para sarjana muda untuk menjadi anggota TNI, yang dibutuhkan misal 10 orang, terkadang yang mendaftar dua pun sudah bersyukur. Kemudian kalau para sarjana sudah menjadi anggota TNI hendaknya berperilaku disiplin bekerja dengan baik, khususnya sebagian dokter muda yang menjadi anggota TNI terkadang tidak disiplin bekerja. Hal inilah yang menjadi kajian khusus TNI di masa depan, perlunya perekrutan SDM yang unggul untuk mencapai hasil maksimal. TNI tidak bisa berjalan sendirian dalam mewujudkan visi dan misi pertahanan negara. Saat ini, sedang dalam pembahasan DPR RI, RUU Keamanan Nasional dan RUU Komponen Cadangan agar diperlukan partisipasi dan peran serta masyarakat sebagai komponen cadangan dan turut serta dalam mewujudkan keamanan nasional bersama. Semoga input SDM yang baik bisa menyelesaikan masalah keamanan nasional dan pertahanan NKRI lebih baik. Amin.