Blog ini untuk menampilkan dunia penulisan dan karya-karya tulis SATRIYA NUGRAHA,SP ; baik yang sudah dimuat di media massa, dimuat www.kompasiana.com maupun belum dimuat, merupakan wadah bagi pemuda dan komunitas untuk berbagi info dan berbagi ilmu kepenulisan, mengangkat penulis sebagai sebuah profesi, penulis adalah Konsultan Ekowisata, Wirausaha Mesin Abon Ikan CV.FIVASS General Trading Kota Malang,Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Jawa Timur 2014-2019.
Minggu, 17 Juli 2016
Ikan Tuna, Tongkol Bakar Sendang Biru Maknyuss
Oleh : Satriya Nugraha, SP
Penulis Buku “Pelayanan Publik Prima : Sebuah Mimpi”
Anggota Komisi, Seni, Budaya, Pariwisata DPD Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Jawa Timur 2012-2015
Eksponen GMNI Kota Malang, Aktivis OKP Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Jatim
Praktisi Ekowisata dan Pemberdayaan Masyarakat Agroteknologi Jawa Timur
Pada Hari Minggu, 11 April 2015, Saya melakukan kunjungan wisata dan observasi Pantai Sendang Biru, Kec. Sumbermanjing Wetan Kab. Malang. Saya berangkat dari Kota Malang pukul 9an pagi naik sepeda motor untuk menghindari kemacetan Kota Malang. Alhamdulillah, perjalanan tidak mengalami kendala, dan Kota Malang tidak mengalami hujan deras ketika berangkat menuju Pantai Sendang Biru. Pantai Sendang Biru adalah satu lagi pantai yang terletak di Kabupaten Malang. Tepatnya di 30 Km bagian selatan Kota Malang.
Pantai Sendang Biru berpotensi sebagai obyek wisata yang sangat indah yang bisa dikunjungi. Untuk mencapai pantai ini, para pengunjung bisa menggunakan kendaraan pribadi seperti mobil dan motor, juga kendaraan umum. Untuk kendaraan umum bisa diakses menggunakan Mikrolet jurusan Terminal Gadang Kota Malang kemudian melewati Kec.Turen Kabupaten Malang sampailah di Pantai Sendang Biru. Selain itu, bagi wisatawan yang ingin mendatangi ke pulau Sempu, haruslah melewati pantai Sendang Biru terlebih dahulu. Adanya pulau Sempu ini, membuat pantai Sendang Biru memiliki ombak yang tidak terlalu besar layaknya pantai laut selatan lainnya.
Ketika saya sampai di Pantai Sendang Biru, Saya berkunjung ke Tempat Pelelangan Ikan Terbesar di Jawa Timur, sekitar 10 ribu ton ikan tuna dan/atau ikan tongkol per tahun ditangkap nelayan di Pantai Sendang Biru. Saya membeli 1 kilogram 4 ons ikan tuna mentah, seharga Rp. 14 ribu per kg, membeli ikan tongkol 1 kilogram 3 ons ikan tongkol, seharga Rp. 12 ribu per kg. Kemudian saya minta bantuan warung terdekat, supaya ikan tuna dibakar dan ikan tongkol dibakar selama 30 menit. Saya menikmati ikan yang dibeli tadi yaitu ikan tuna bakar dan ikan tongkol dengan sambal ciri khas pantai sendang biru, rasanya maknyuss. Masyarakat perlu menikmati kenikmatan rasa ikan tuna yang jarang dijumpai di warung kuliner Kota Malang.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/satriya1998/ikan-tuna-tongkol-bakar-sendang-biru-maknyuss_555312c2b67e61190c13096b
UU 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Wajib Dipahami Kepala Daerah, Pejabat Negara, dan Masyarakat
Oleh : Satriya Nugraha, SP satriya1998@gmail.com ; satriya1998@yahoo.com
Konsultan Business Plan Sapi Penggemukan, Ketela Pohon dan Tebu
S-1 FP Universitas Brawijaya
Anggota Komisi Seni, Budaya, Pariwisata DPD KNPI Jawa Timur 2012-2016
Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil tindak pidananya susah ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Oleh karena itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam konsep anti pencucian uang, pelaku dan hasil tindak pidana dapat diketahui melalui penelusuran untuk selanjutnya hasil tindak pidana tersebut dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada yang berhak. Apabila Harta Kekayaan hasil tindak pidana yang dikuasai oleh pelaku atau organisasi kejahatan dapat disita atau dirampas, dengan sendirinya dapat menurunkan tingkat kriminalitas. Untuk itu upaya pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang memerlukan landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum serta penelusuran dan pengembalian Harta Kekayaan hasil tindak pidana.
Penelusuran Harta Kekayaan hasil tindak pidana pada umumnya dilakukan oleh lembaga keuangan melalui mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Lembaga keuangan memiliki peranan penting khususnya dalam menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa dan melaporkan Transaksi tertentu kepada otoritas (financial intelligence unit) sebagai bahan analisis dan untuk selanjutnya disampaikan kepada penyidik. Lembaga keuangan tidak hanya berperan dalam membantu penegakan hukum, tetapi juga menjaga dirinya dari berbagai risiko, yaitu risiko operasional, hukum, terkonsentrasinya Transaksi, dan reputasi karena tidak lagi digunakan sebagai sarana dan sasaran oleh pelaku tindak pidana untuk mencuci uang hasil tindak pidana.
Dengan pengelolaan risiko yang baik, lembaga keuangan akan mampu melaksanakan fungsinya secara optimal sehingga pada gilirannya sistem keuangan menjadi lebih stabil dan terpercaya. Dalam perkembangannya, tindak pidana Pencucian Uang semakin kompleks, melintasi batas-batas yurisdiksi, dan menggunakan modus yang semakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah merambah ke berbagai sektor. Untuk mengantisipasi hal itu, Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering telah mengeluarkan standar internasional yang menjadi ukuran bagi setiap negara dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana pendanaan terorisme yang dikenal dengan Revised 40 Recommendations dan 9 Special Recommendations (Revised 40+9) FATF, antara lain mengenai perluasan Pihak Pelapor (reporting parties) yang mencakup pedagang permata dan perhiasan/logam mulia dan pedagang kendaraan bermotor.
Dalam mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang perlu dilakukan kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateral atau multilateral agar intensitas tindak pidana yang menghasilkan atau melibatkan Harta Kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi. Penanganan tindak pidana Pencucian Uang di Indonesia yang dimulai sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, telah menunjukkan arah yang positif.
Hal itu, tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, seperti penyedia jasa keuangan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan, Lembaga Pengawas dan Pengatur dalam pembuatan peraturan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam kegiatan analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga penjatuhan sanksi pidana dan/atau sanksi administratif. Upaya yang dilakukan tersebut dirasakan belum optimal, antara lain karena peraturan perundang-undangan yang ada ternyata masih memberikan ruang timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana Undang-Undang tersebut di atas.
Untuk memenuhi kepentingan nasional dan menyesuaikan standar internasional, perlu disusun Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai pengganti Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Berdasarkan latar belakang di atas maka Pemerintah menetapkan UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Ditetapkan oleh Presiden RI tanggal 22 Oktober 2010. PPATK mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang.
Dalam melaksanakan tugas tersebut, PPATK mempunyai fungsi sebagai berikut:a.) pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang; b.) pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK;c.) pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan d.) analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana lain. Dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud di atas maka PPATK berwenang: a. meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu; b. menetapkan pedoman identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan; c. mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana Pencucian Uang dengan instansi terkait; d. memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan tindak pidana Pencucian Uang; e. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi dan forum internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang; f. menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan antipencucian uang; dan g. menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang.
Dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud di atas, PPATK berwenang: a. menetapkan ketentuan dan pedoman tata cara pelaporan bagi Pihak Pelapor; b. menetapkan kategori Pengguna Jasa yang berpotensi melakukan tindak pidana Pencucian Uang; c. melakukan audit kepatuhan atau audit khusus; d. menyampaikan informasi dari hasil audit kepada lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Pihak Pelapor; e. memberikan peringatan kepada Pihak Pelapor yang melanggar kewajiban pelaporan; f. merekomendasikan kepada lembaga yang berwenang mencabut izin usaha Pihak Pelapor; dan g. menetapkan ketentuan pelaksanaan prinsip mengenali Pengguna Jasa bagi Pihak Pelapor yang tidak memiliki Lembaga Pengawas dan Pengatur.
Kemudian perlu diketahui : Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; e. penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang; m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di bidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana tersebut di atas dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud di atas dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dendapaling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud di atas dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Ketentuan sanksi di atas tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2010.
Setiap Orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta melakukan percobaan, pembantuan, atau Permufakatan Jahat untuk melakukan tindak pidana Pencucian Uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 8 Tahun 2010. Semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan ataubelum diganti berdasarkan Undang-Undang ini. Demikianlah sekelumit penjelasan UU/8 Tahun 2010.
Semoga menambah wawasan bagi kalangan kepala daerah, pejabat dan masyarakat Indonesia. Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4191) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4324) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ribuan Orang Tertipu Lowongan Pekerjaan PT Hadena Indonesia
Oleh : Satriya Nugraha, SP
Konsultan Ekowisata, Menulis Ilmiah Populer
satriya1998@gmail.com ; satriya1998@yahoo.com
Anggota Komisi Seni, Budaya, Pariwisata DPD KNPI Jatim 2012-2016
Diduga penyelenggara telah berhasil meraup uang milik pelamar hingga miliaran rupiah. Penelusuran Media Indonesia di beberapa kota di Jawa Tengah, Kamis (26/9/2013) seperti Semarang, Yogyakarta, dan Solo, ribuan orang telah tertipu lowongan kerja yang ditawarkan PT Hadena Indonesia berupa pengelemen benang teh. Mereka dijanjikan memperoleh hasil Rp.70.000 per box berisi 200 kantong teh atau Rp.350.000 untuk lima box. Namun setiap pelamar harus membayar Rp250.000. Modus yang dipergunakan yakni seorang petugas yang disebut media oleh perusahaan memasang iklan lowongan kerja sama pengeleman benang teh atau menyebarkan brosur lowongan di perempatan lampu merah atau tempat-tempat yang cukup strategis.
Tidak hanya ibu rumah tangga atau remaja pengangguran yang terjebak, ribuan pelajar dan mahasiswa yang datang langsung digiring ke lantai dua ruko yang dijadikan kantor tersebut, kemudian setelah mendapat penjelasan singkat seperti dalam iklan tersebut mereka harus menjadi member dan harus membayar Rp250.000 sebagai kompensasi dan Rp.5.000 sebagai member."Semula kami tertarik dengan iklan selebarannya yang menjanjikan penghasilan Rp.70.000 setelah mengelem satu kotak teh Rosela, tapi saya harus kehilangan uang Rp.250.000 dan tidak dapat diambil kembali karena apa yang dijanjikan tidak terbukti," kata Triska,31, seorang ibu rumah tangga di Semarang.
Setelah ditemui seorang pegawai bernama Agus dan membayar Rp255.000 setiap orang, demikian Triska, kemudian member yang baru diberikan satu box benang kertas teh merk Rosela untuk untuk dibawa pulang dan dikerjakan pengelemannya. Namun sebelumnya dijanjikan setiap member boleh mengambil berapa saja sesuai kemampuan mengelem. Satu hari kemudian, ujar Triska, hasil pengeleman yang hanya dapat dikerjakan kurang dari dua jam karena ternyata jumlahnya hanya 156 kantong teh, dikembalikan ke PT Hadena Indonesia dengan tujuan dapat mengambil lebih banyak lagi sesuai yang dijanjikan. Ternyata bukan box teh yang diberikan, tetapi member harus merekrut lagi lima orang agar menjadi member baru dan membayar Rp250.000 baru diperbolehkan melakukan pengeleman, bahkan tidak hanya itu uang jasa Rp70.000 yang dijanjikan tidak dapat diberikan dengan alasan harus ditukar dengan produk teh.
"Saya harus menukar uang jasa itu dengan salah satu dari tiga produk, nah di sinilah muncul penipuan dan tidak dapat bekerja lagi kalau tidak membawa lima member baru," katanya. Kepala Polrestabes Semarang Kombes Djihartono mengatakan baru menerima masukan adanya modus baru penipuan tersebut, oleh karena segera akan menurunkan anggota untuk melakukan penyelidikan. (Sumber) Harian swasta terbesar di Jawa Timur juga menayangkan kolom iklan PT Hadena Indonesia, di Kota Surabaya, Malang dan sebagainya. Hal ini perlu disikapi masyarakat Jawa Timur di masa depan. Hubungi Ibu Kendedes NKA ; 99624 di Surabaya, hubungi Indah NKA di Kota Surabaya, hubungi Krisna dan Saka NKA : 104918 di Kota Malang, hubungi Rina di Kota Kediri dan sebagainya.
Muspida Jawa Timur beserta jajarannya perlu menyelidiki kasus kolom iklan PT. Hadena Indonesia di Jawa Timur supaya tidak timbul banyak korban lagi, tidak menimbulkan kerugian materi korban-korban selanjutnya. Pemimpin Redaksi salah satu Harian Jawa Timur harus segera mencegah dan menghentikan penayangan iklan PT. Hadena Indonesia tersebut. Saya melihat masih aja ditayangkan tiap hari bulan Oktober 2013. Pihak Kapolda Jatim beserta jajarannya sebaiknya proaktif menyelidiki kasus ini seperti yang dilakukan Kepala Polrestabes Semarang. Kasus di Jawa Tengah cukup menjadi pelajaran berarti. Jangan mencari keuntungan di tengah banyaknya masyarakat susah mencari lowongan pekerjaan.
Langganan:
Postingan (Atom)